Rabu, 29 Februari 2012

Penilaian Bung Karno Terhadap Sistim Demokrasi Parlementer


Banyak yang muak dengan model demokrasi sekarang. Sebagian mengatakan, demokrasi sekarang sangat mahal, rawan korupsi, dan tidak ‘mewakili’ kepentingan rakyat. Gus Dur pernah menjuluki DPR sebagai “taman kanak-kanak”. 
Itulah demokrasi parlementer—bahasa Belandanya, “parlementaire democratie”. Dulu, Bung Karno juga sering mengeritik pedas model “parlementaire democratie”. Banyak tulisan-tulisan, pidato-pidato, maupun perbincangan Bung Karno yang terang-terangan menelanjangi model demokrasi asal barat ini.
Demokrasi parlementer dihasilkan oleh revolusi Perancis. Ini adalah revolusi yang menggulingkan kekuasaan feudal dan kemudian mendirikan masyarakat baru: kapitalisme.
Menurut Bung Karno, ketika feodalisme masih berkuasa, kalangan pengusaha sulit sekali berkembang. Makanya, secara ekonomi, mereka menuntut kebebasan berusaha: mengerjakan segala sesuatu yang bisa mendatangkan untung (profit). Timbullah, kata Soekarno, ide liberalisme di lapangan ekonomi.
Ide liberalisme di lapangan ekonomi juga diikuti oleh lapangan politik. Saat itu, muncul beragam pemikiran politik yang menuntut ruang bagi si pengusaha (borjuasi). Sederhanya, seperti diajarkan oleh Montesqui, para pengusaha ini menuntut agar kekuasaan raja dibatasi. Mereka menuntut dibuatkan perwakilan agar bisa bersuara.
Meletuslah revolusi Perancis pada 1789. Slogannya: liberte (kemerdekaan)! Egalite (persamaan)! Fraternite (persaudaraan)!
Di bidang politik, kata Bung Karno, terjadi perombakan besar: kekuasaan tidak lagi tangan satu orang (raja), tetapi diserahkan kepada semua orang. Lahirlah “liberale politiek”, dimana semua orang bisa punya usulan, boleh berpidato, punya hak memilih dan dipilih, dan melakukan protes.
Rakyat jelata, yang turut mengambil peran menentukan dalam revolusi, mulai digiring keluar arena kekuasaan politik. Caranya: kalangan penguasaha—kemudian disebut kaum borjuis—mulai membuat aturan-aturan untuk mengurangi kekuasaan dan peranan rakyat jelata.
Muncullah demokrasi parlementer. Di sini, semua orang punya hak memilih dan dipilih untuk masuk dalam parlemen. Akan tetapi, pada prakteknya, model demokrasi parlementer itu sangat tidak menguntungkan bagi rakyat jelata.
Kenapa bisa begitu? Soekarno memberi jawaban: “untuk masuk dalam pemilihan parlementer, setiap orang memerlukan kampanye, propaganda, dan logistik atau sumber daya. Dan kita tahu, kaum borjuis-lah yang menguasai semua alat-alat propaganda dan logistik.”
Kaum borjuis yang menguasai koran-koran, televise, radio, dan lain-lain. Kaum borjuis juga menguasai sarana pendidikan, rumah sakit, dan peribadatan. Kaum borjuis pula yang mengontrol produksi pengetahuan. Dengan demikian, kaum borjuis-lah yang paling siap untuk memenangkan pertarungan dalam pemilihan anggota parlemen.
Bagi Bung Karno, demokrasi parlementer merupakan sarana politik bagi ‘kapitalisme yang baru terbit’ (kapitalismus im aufstieg). Di eropa, kata Bung Karno, perkembangan politik parlementer sejalan dengan merajalelanya kapitalisme itu sendiri.
Kok bisa begitu? Soekarno kembali memberi jawaban: sebab demokrasi parlementer hanya memberikan demokrasi politik saja. Sedangkan demokrasi ekonomi, yaitu hak massa-rakyat terorganisir untuk mengontrol alat-alat produksi, tidak diberikan oleh kaum kapitalis.
Menurut Soekarno, model demokrasi parlementer pernah juga ditolak oleh pemimpin gerakan buruh di eropa. Bung Karno menyebut dua nama pengeritik demokrasi parlementer yang paling terkenal, yaitu Jean Juarez,Adler dan Liebkencht. Ketiganya, yang condong pada gerakan sosial-demokrasi, menuntut apa yang disebut “politiek-economische democratie”.
Bung Karno, yang sering mengutip pidato seorang sosialis Perancis, Jean Juarez, mengatakan: “Di dalam demokrasi parlementer tiap-tiap orang bisa menjadi raja. Tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang bisa dipilih. Tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya.”
Akan tetapi, kata Soekarno melanjutkan, “di bidang ekonomi setiap orang bertindak laksana raja, tetapi di bidang ekonomi tidak demikian.”  Seorang buruh yang berkuasa di parlemen, bahkan berhasil menjatuhkan menteri, besok paginya di dalam pabrik bisa dilempar keluar menjadi gembel”.
Pendek kata, di parlemen seorang buruh bisa berkuasa laksana raja, tetapi di pabrik mereka tetap di bawah kekuasaan sang majikan. Ia bisa dipecat kapan saja, dan kehilangan pekerjaannya. Sebab, alat produksi tetap dikontrol oleh si kapitalis.
Pendapat semacam ini tidak hanya dianut Bung Karno, tetapi hampir semua founding father pada jamannya. Hatta, misalnya, mengeritik model demokrasi yang dianjurkan pemikir Perancis, JJ Rousseau, yang bersandar pada kebebasan atau kemerdekaan individu. Pada kenyataannya, menurut Bung Hatta, demokrasi hanya terjadi pada lapangan politik semata, sedangkan perekonomian dan pergaulan sosial masih dikuasai oleh autokrasi. “Cita-cita revolusi perancis, yang kemerdekaan, persamaan, dan kebebasan, tidak pernah tercapai,” kata Bung Hatta.
Karena itu, sebagai jalan keluarnya, sejak tahun 1932 Bung Karno sudah mempromosikan model demokrasi alternatif: sosio-demokrasi. Sosio-Demokrasi adalah Demokrasi-masyarakat alias demokrasi massa-rakyat.
Sosio-demokrasi bercita-cita menghapuskan sistem yang menciptakan kepincangan dalam masyarakat: imperialisme dan kapitalisme. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat …….. Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi”.
KUSNO
Anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)