Rabu, 04 Januari 2012

Maulwi Saelan, Dari Penjaga Gawang Hingga Penjaga Bung Karno


Oleh : Setiadi Marhaen
Saelan-Bung Karno
Pada tahun 1936, saat berlangsunya olympiade di Berlin, Jesse Owens, pelari Amerika yang berkulit hitam, tampil sangat memukau dengan menggondol empat medali emas sekaligus.
Film yang berkisah tentang keberhasilan Jesse Owens ini mempengaruhi Maulwi Saelan, seorang pemuda Sulawesi yang suka sepak-bola. Ia pun bercita-cita untuk tampil di olympiade dan mengharumkan nama Indonesia. Tentunya dengan cabang olahraga sepak-bola, yang digemarinya.
17 November 1956, mimpi Maulwi Saelan benar-benar terkabulkan. Ia menjadi penjaga gawang tim nasional Indonesia di olympiade XVI di Melbourne, Australia. Saat itu tim nasional Indonesia, yang lolos seleksi tingkat Asia, tampil mewakili Asia melawan raksasa beruang merah, Uni-Soviet.
Pertandingan perempat final itu berakhir dengan skor 0-0, meskipun sudah ada perpanjangan waktu 2 kali 15 menit. “Kalau pertandingan berakhir seri (draw), maka pertandingan harus diulang,” begitulah aturan saat itu. Pada saat itu kondisi pemain Indonesia sudah kelelahan dan banyak yang menderita cidera. Akhirnya Indonesia menyerah 0-4.
Sekalipun begitu, itu adalah sejarah tertinggi dalam sepak-bola Indonesia, dan sampai sekarang belum pernah terulang. Maulwi Saelan jatuh bangun mempertahankan gawag Indonesia dari serangan pemain Soviet.
“Saya jatuh bangun menahan gelombang serbuan beruang merah. Pokoknya, kami bertekad tidak menyerah. Waktu itu masih belum ada peraturan, kalau hasil pertandingan draw, harus dilakukan sudden death tendangan penalty,” kata Maulwi Saelan mengenang.
>>>
Maulwi Saelan lahir Makassar, Sulawesi Selatan, pada 8 Agustus 1928. Ayahnya, Amin Saelan, adalah seorang tokoh pendiri Taman Siswa di Makassar dan seorang tokoh pejuang nasionalis.
Gelora revolusi Agustus 1945 sampai juga di Makassar. Maulwi Saelan, yang ketika itu baru berusia 20-an tahun, memilih untuk ikut berjuang. Saat ia menjadi pelajar SMP Nasional, ia dan pelajar-pelajar lainnya mengorganisir penyerbuan Empress Hotel, yang saat itu berfungsi sebagai markas NICA. Ia ditahan karena kejadian itu. Di situlah ia bertemu dengan Wolter Monginsidi, orang yang kelak menjadi salah satu pemimpin perlawanan di Makassar.
Ia bersama dengan Wolter Monginsidi membentuk laskar gerilya yang diberi-nama “Harimau Indonesia”. Kesatuan gerilya ini kebanyakan beranggotakan pelajar, termasuk salah-satunya kakak-kandung Maulwi, yaitu Emmy Saelan. Emmy Saelan, seorang perempuan pemberani, gugur dalam pertempuran gagah-berani di Kassi-Kassi, Makassar.
Seusai perjanjian Linggarjati, maret 1947, Maulwi Saelan meneruskan perjuangan di Pulau jawa. “Saya dan rekan-rekan meneruskan perjuangan di Jawa, meninggalkan Sulawesi dengan perahu,” katanya dalam buku “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 1945 Sampai Kudeta 1966”.
Maulwi Saelan konon bertempur melawan Belanda di daerah Malang selatan. Setelah KMB 1949, ia ditunjuk sebagai Wakil Komandan Yon VII/CPM Makassar.
>>>
Nama Maulwi Saelan terdengar Bung Karno saat olympiade Melbourne. “Bung Karno tanya siapa ayah saya,” kata Saelan. Ia pun menjawab, “Amin Saelan, seorang pendiri taman siswa di Makassar.”
Saelan kembali bertemu Bung Karno pada tahun 1958 saat berkunjung ke Sulawesi Selatan. Saelan bertemu Bung Karno di Pare-Pare.
Tahun 1962, Resimen Tjakrabirawa dibentuk. Saelan dipanggil Bung Karno untuk mengisi jabatan sebagai staff, dan kemudian menjadi wakil Komandan menjelang peristiwa Gestok meletus.
Lalu, pada tahun 1966, Maulwi Saelan menjadi ajudan Bung Karno. Saelan menjadi penjaga Bung Karno yang paling setia. Ia menemani Bung Karno hingga akhir hidupnya. “Bung Karno meninggalkan Istana memakai kaus oblong, piyama, serta sandal usang. Bajunya disampirkan ke pundak,” katanya.
Tidak mengherankan, ketika Bung Karno sudah meninggal dan Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, Maulwi Saelan sempat dipenjara beberapa tahun tanpa pengadilan. Ia, sebagaimana tahanan yang dianggap terlibat G/30/S, mendapatkan diskriminasi politik ketika orba berkuasa.
Ketika beberapa penulis asing berusaha melibatkan Bung Karno sebagai pelaku G/30/S, Maulwi tampil ke depan untuk membantah habis-habisan. Bahkan, ketika seorang bekas ajudan bung Karno lainnya, Kolonel Bam bang Wi djanarko, membuat kesaksian bahwa Bung Karno terlibat G/30/S.
Saelan membantah pengakuan Bambang itu. Dalam bukunya, “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 1945 Sampai Kudeta 66”, Saelan mengatakan bahwa pengakuan Bambang Widjanarko bukan fakta, seluruhnya adalah karangan yang diarahkan untuk keperluan mencari-cari kesalahan Bung Karno.
Ketika diperiksa Teperpu, Saelan menolak menanda-tangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang sudah dipersiapkan pemeriksa, yang isinya sangat jelas mau memojokkan Bung Karno, kendati Bambang Widjanarko sudah menandatangi BAP itu. Maulwi Saelan harus membayar keteguhannya itu dengan penjara selama 4 tahun 8 bulan.
Terkait peristiwa G.30/S, Saelan juga bersikukuh bahwa gerakan tersebut merupakan kudeta merangkak Soeharto untuk menjatuhkan Bung Karno. Ia
Pembelaan terhadap Bung Karno juga pernah dilakukan pengikut-pengikut setianya, seperti Manai Sophiaan (Kehormatan bagi yang Berhak, 1994), Oei Tjoe Tat (Memoar Oei Tjoe Tat, 1995), Hanafi A.M. (A.M. Hanafi Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto, 1996), serta tulisan H. Mangil Martowidjojo yang terbit pada 1999 (Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar