Rabu, 29 Februari 2012

Penilaian Bung Karno Terhadap Sistim Demokrasi Parlementer


Banyak yang muak dengan model demokrasi sekarang. Sebagian mengatakan, demokrasi sekarang sangat mahal, rawan korupsi, dan tidak ‘mewakili’ kepentingan rakyat. Gus Dur pernah menjuluki DPR sebagai “taman kanak-kanak”. 
Itulah demokrasi parlementer—bahasa Belandanya, “parlementaire democratie”. Dulu, Bung Karno juga sering mengeritik pedas model “parlementaire democratie”. Banyak tulisan-tulisan, pidato-pidato, maupun perbincangan Bung Karno yang terang-terangan menelanjangi model demokrasi asal barat ini.
Demokrasi parlementer dihasilkan oleh revolusi Perancis. Ini adalah revolusi yang menggulingkan kekuasaan feudal dan kemudian mendirikan masyarakat baru: kapitalisme.
Menurut Bung Karno, ketika feodalisme masih berkuasa, kalangan pengusaha sulit sekali berkembang. Makanya, secara ekonomi, mereka menuntut kebebasan berusaha: mengerjakan segala sesuatu yang bisa mendatangkan untung (profit). Timbullah, kata Soekarno, ide liberalisme di lapangan ekonomi.
Ide liberalisme di lapangan ekonomi juga diikuti oleh lapangan politik. Saat itu, muncul beragam pemikiran politik yang menuntut ruang bagi si pengusaha (borjuasi). Sederhanya, seperti diajarkan oleh Montesqui, para pengusaha ini menuntut agar kekuasaan raja dibatasi. Mereka menuntut dibuatkan perwakilan agar bisa bersuara.
Meletuslah revolusi Perancis pada 1789. Slogannya: liberte (kemerdekaan)! Egalite (persamaan)! Fraternite (persaudaraan)!
Di bidang politik, kata Bung Karno, terjadi perombakan besar: kekuasaan tidak lagi tangan satu orang (raja), tetapi diserahkan kepada semua orang. Lahirlah “liberale politiek”, dimana semua orang bisa punya usulan, boleh berpidato, punya hak memilih dan dipilih, dan melakukan protes.
Rakyat jelata, yang turut mengambil peran menentukan dalam revolusi, mulai digiring keluar arena kekuasaan politik. Caranya: kalangan penguasaha—kemudian disebut kaum borjuis—mulai membuat aturan-aturan untuk mengurangi kekuasaan dan peranan rakyat jelata.
Muncullah demokrasi parlementer. Di sini, semua orang punya hak memilih dan dipilih untuk masuk dalam parlemen. Akan tetapi, pada prakteknya, model demokrasi parlementer itu sangat tidak menguntungkan bagi rakyat jelata.
Kenapa bisa begitu? Soekarno memberi jawaban: “untuk masuk dalam pemilihan parlementer, setiap orang memerlukan kampanye, propaganda, dan logistik atau sumber daya. Dan kita tahu, kaum borjuis-lah yang menguasai semua alat-alat propaganda dan logistik.”
Kaum borjuis yang menguasai koran-koran, televise, radio, dan lain-lain. Kaum borjuis juga menguasai sarana pendidikan, rumah sakit, dan peribadatan. Kaum borjuis pula yang mengontrol produksi pengetahuan. Dengan demikian, kaum borjuis-lah yang paling siap untuk memenangkan pertarungan dalam pemilihan anggota parlemen.
Bagi Bung Karno, demokrasi parlementer merupakan sarana politik bagi ‘kapitalisme yang baru terbit’ (kapitalismus im aufstieg). Di eropa, kata Bung Karno, perkembangan politik parlementer sejalan dengan merajalelanya kapitalisme itu sendiri.
Kok bisa begitu? Soekarno kembali memberi jawaban: sebab demokrasi parlementer hanya memberikan demokrasi politik saja. Sedangkan demokrasi ekonomi, yaitu hak massa-rakyat terorganisir untuk mengontrol alat-alat produksi, tidak diberikan oleh kaum kapitalis.
Menurut Soekarno, model demokrasi parlementer pernah juga ditolak oleh pemimpin gerakan buruh di eropa. Bung Karno menyebut dua nama pengeritik demokrasi parlementer yang paling terkenal, yaitu Jean Juarez,Adler dan Liebkencht. Ketiganya, yang condong pada gerakan sosial-demokrasi, menuntut apa yang disebut “politiek-economische democratie”.
Bung Karno, yang sering mengutip pidato seorang sosialis Perancis, Jean Juarez, mengatakan: “Di dalam demokrasi parlementer tiap-tiap orang bisa menjadi raja. Tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang bisa dipilih. Tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya.”
Akan tetapi, kata Soekarno melanjutkan, “di bidang ekonomi setiap orang bertindak laksana raja, tetapi di bidang ekonomi tidak demikian.”  Seorang buruh yang berkuasa di parlemen, bahkan berhasil menjatuhkan menteri, besok paginya di dalam pabrik bisa dilempar keluar menjadi gembel”.
Pendek kata, di parlemen seorang buruh bisa berkuasa laksana raja, tetapi di pabrik mereka tetap di bawah kekuasaan sang majikan. Ia bisa dipecat kapan saja, dan kehilangan pekerjaannya. Sebab, alat produksi tetap dikontrol oleh si kapitalis.
Pendapat semacam ini tidak hanya dianut Bung Karno, tetapi hampir semua founding father pada jamannya. Hatta, misalnya, mengeritik model demokrasi yang dianjurkan pemikir Perancis, JJ Rousseau, yang bersandar pada kebebasan atau kemerdekaan individu. Pada kenyataannya, menurut Bung Hatta, demokrasi hanya terjadi pada lapangan politik semata, sedangkan perekonomian dan pergaulan sosial masih dikuasai oleh autokrasi. “Cita-cita revolusi perancis, yang kemerdekaan, persamaan, dan kebebasan, tidak pernah tercapai,” kata Bung Hatta.
Karena itu, sebagai jalan keluarnya, sejak tahun 1932 Bung Karno sudah mempromosikan model demokrasi alternatif: sosio-demokrasi. Sosio-Demokrasi adalah Demokrasi-masyarakat alias demokrasi massa-rakyat.
Sosio-demokrasi bercita-cita menghapuskan sistem yang menciptakan kepincangan dalam masyarakat: imperialisme dan kapitalisme. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat …….. Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi”.
KUSNO
Anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Senin, 27 Februari 2012

Rasuna Said, Nasionalis Dari Tanah Minang


Rasuna Said-Bung Karno
Anda tahu siapa Rasuna Said? Di Jakarta, nama tokoh ini dijadikan nama sebuah jalan besar, yaitu jl. HR Rasuna Said, yang disamping kanan-kirinya berjejer plaza, bank, perkantoran, dan  lain-lain. 
Lalu, saking tidak tahunya, seorang teman bertanya kepada saya: Rasuna Said itu nama laki-laki atau perempuan? Nama tokoh yang satu ini memang jarang di sebut dalam buka pelajaran sejarah. Padahal, sepak terjangnya dalam perjuangan nasional, juga goresan tangannya yang tajam mengeritik kolonialisme, pernah dipuji Bung Karno di tengah lautan massa di Bandung, pada 18 Maret 1958.
Rasuna Said dilahirkan di Maninjau, Sumatra Barat, pada 14 September 1910. Ia keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, seorang pengusaha dan bekas aktivis pergerakan.
Selepas dari Sekolah Dasar, Rasuna dikirim ayahnya untuk belajar di pesantrean: Ar Rasyidiyah. Ia dikenal sebagai siswa cerdas, tangkas, dan pemberani. Kemudian, ia pindah ke sekolah di sekolah Diniyah, Padang. Di sinilah ia bertemu dengan seorang guru bernama Zainuddin Labai el-Junusiah, seorang tokoh gerakan Thawalib.
Gerakan Thawalib adalah gerakan yang dibangun kaum reformis islam di Sumatera Barat. Banyak pemimpin gerakan ini dipengaruhi oleh pemikiran nasionalis-islam Turki, Mustafa Kamal (Kamal Attaturk).
Rasuna Said tumbuh dewasa di tengah bersemainya gerakan nasionalis, kiri, dan islam modernis di Sumatera Barat. Saat itu, batasan antara aktivis kiri, nasionalis, dan Islam tidaklah terlalu tebal. Jamaluddin Tamin, misalnya, dikenal sebagai tokoh gerakan Thawalib tetapi juga pendiri Sarekat Rakyat (SI-Merah).
Jamaluddin Tamin dikenal sangat dekat dengan tokoh komunis Sumatera Barat, Haji Datuk Batuah. Sedangkan Haji Datuk Batuah merupakan pengikut tokoh Komunis Islam Solo, Haji Misbach. Ia sangat tertarik untuk memadukan antara islam dan marxisme.
Menjelang tahun 1926, PKI di Sumatera Barat sedang dalam puncak-puncak kejayaannya. Akan tetapi, sehubungan dengan konflik internal terkait rencana pemberontakan, PKI di Sumbar juga terpecah: antara pengikut PKI pusat dan PKI-Tan Malaka.
Diujung pemberontakan itulah, Rasuna Said bergabung dengan salah satu organisasi PKI, yaitu Sarekat Rakyat. Akan tetapi, Rasuna Said tidak lama bergabung dengan Sarekat Rakyat. Pasca pemberontakan PKI di Silungkang, Sumatera Barat, polisi rahasia Belanda mengejar aktivis kiri.
Akibatnya, sejumlah aktivis Sarekat Rakyat yang tidak setuju dengan pemberontakan itu telah mengubah organisasi ini menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia. Itu terjadi pada tahun 1930-an.
Sementara itu, pada tahun 1932, sebagian tokoh-tokoh gerakan Thawalib mendirikan organisasi baru bernama Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Rasuna Said bergabung dengan PERMI. PERMI mengambil garis politik sangat anti-kolonialisme.
Di PERMI, Rasuna ditempatkan di seksi propaganda. Pekerjaan inilah yang mendekatkan dirinya dengan koran dan orasi politik. Rasuna dikenal sebagai seorang orator hebat. Seorang tokoh islam, H Hasymi, pernah menggambarkan kemampuan pidato Rasuna sebagai berikut: “pidato-pitato Rasuna laksana petir di siang hari. Kata-katanya tajam membahana.”
Selain itu, ia juga mendirikan sekolah rakyat bernama “Sekolah Menyesal”. Rasuna punya pandangan: untuk memajukan rakyat, maka ia harus bisa dibuat pandai membaca dan menulis. Ia juga mendirikan kursus-kursus putri untuk memajukan kesadaran kaum perempuan.
Pidatonya yang berani mengeritik tajam kolonialisme membuat Rasuna berurusan dengan PID (polisi rahasia Belanda). Ia ditangkap dan ditahan di Payakumbuh. Berita penangkapannya banyak dimuat di koran. Saat itu, Rasuna dikenai tuduhan delik mimbar (spreekdelict). Ia akhirnya di penjara di Semarang, Jawa Tengah.
Pemilik pena yang tajam
Semasa masih muda, Rasuna aktif berkorespondensi dengan pemimpin-pemimpin pergerakan di Jawa, yakni Soekarno dan Bung Hatta.
Selepas dari penjara, Rasuna memimpin sebuah koran bernama “Raya”. Koran ini sangat nasionalis dan radikal. Koran ini bahkan menjadi obor perlawanan bagi kebangkitan gerakan nasionalis di Sumatera Barat.
Sayang, PID terlalu mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawannya. Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatera Utara.
Pada tahun 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat majalah mingguan bernama “Menara Poeteri”. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno: “Ini dadaku, mana dadamu”.
Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu anti-kolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan.
Rasuna Said mengasuh rubrik “Pojok”. Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga.
Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang anti-kolonial. Sebuah koran di Surabaya, namanya Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini: “di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional.
Akan tetapi, koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya: sebagian besar pelangganya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10% pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan. Sisanyangemplang.
Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halaman: Sumatera Barat.
Nasionalis tulen
Pada jaman penjajahan Jepang, Rasuna Said sempat terlibat dalam pergerakan bawah tanah. Namun, pada saat Jepang membangun organisasi massa, Rasuna pun tergerak untuk menggunakan orgasisasi massa itu untuk kepentingan pergerakan.
Rasuna bergabung dengan Gyu Gun Ko En Kai. Organisasi ini banyak menghimpun aktivis pergerakan. Di organisasi ini, Rasuna lagi-lagi kebagian urusan “propaganda”.
Meski bekerja di organisasi massa yang dibuat Jepang, bukan berarti Rasuna melemah di hadapan fasis itu. Pada suatu hari, kepada seorang perwira Jepang yang menegur aktivitasnya, Rasuna berkata begini: “Boleh tuan menyebut Asia Raya, karena tuan menang perang. Tetapi di sini (sambil menunjuk dadanya), tertanam pula Indonesia Raya.”
Selepas proklamasi kemerdekaan, Rasuna bergabung dengan Badan Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI). Ia juga sempat menjadi anggota Front Pertahanan Nasional di Bukit Tinggi.
Pada saat sidang KNIP (parlemen Indonesia jaman itu) di Malang, Jawa Tengah, Rasuna terpilih sebagai wakil Sumatera. Ia juga sempat ditunjuk sebagai Badan Pekerja KNIP.
Pada saat itu, Rasuna sebetulnya sudah menikah. Akan tetapi, karena Ia terlanjur meleburkan diri dalam pergerakan, Rasuna jarang bertemu dengan suaminya. Ia pun bercerai.
Rasuna kemudian menikah lagi dengan seorang aktivis kiri, Bariun AS. Akan tetapi, pernikahan dengan orang Medan ini juga tidak berumur panjang. Ia kembali bercerai. Rupanya, Rasuna terlanjur hidup di alam pergerakan.
Rasuna sendiri adalah pendukung setia Bung Karno. Pada saat pemberontakan PRRI-Permesta meletus, Rasuna merupakan salah satu tokoh pejuang Sumatera Barat yang memihak NKRI dan Bung Karno. Banyak kawan akrabnya, bahkan bekas suaminya, menjadi pendukung PRRI-Permesta.
Kegigihan itulah yang membuat Bung Karno kagum pada pejuang dari Sumatera Barat ini. Dalam sebuah pidato di Bandung, 18 Maret 1958, di hadapan puluhan ribu massa, Bung Karno memuji kegigihan perjuangan Rasuna Said.
Karena itu, pada 11 Juli 1957, Bung Karno menunjuk Rasuna Said sebagai anggota Dewan Nasional mewakili golongan perempuan. Di situ, ia tetap menunjukkan sikap politik yang tegas: nasionalis anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.
Akhirnya, di tengah politik yang sedang memanas dan kepungan imperialis yang kian nyata, Rasuna Said berpulang. Tepatnya pada tanggal 2 November 1965. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
ULFA ILYAS
Anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Minggu, 26 Februari 2012

Lowkey, Rapper Yang Menyuarakan Rakyat


Apa tujuan anda bermusik? Setiap orang berhak punya jawaban tersendiri atas pertanyaan itu. Akan tetapi, jika kita berbicara sebagai manusia yang sadar, maka pilihannya cuma satu: bermusik untuk kemanusiaan!
Lowkey, seorang rapper muda Inggris, mencoba mengikuti jalan itu.  Ia menolak terserap dalam jalur mainstream. Meski banyak label besar yang menawarinya, Lowkey mengaku tidak tergoda mencari uang lewat musik.
“Musik tidak selamanya soal mencari uang. Kita bisa mencari uang dengan cara yang lain,” kata pemuda yang mengaku tidak punya akun di Youtube ini.
Lagu-lagu Lowkey memang sudah berjejal di Youtube. Nama besarnya dalam dunia hip-hop juga tak bisa dipandang remeh lagi. Meski begitu, Lowkey tidak memilih ketenaran, melainkan pengabdian kepada rakyat.
Ia pun sering tampil di aksi-aksi jalanan. Di lain hari, Lowkey tampil sebagai pembicara dalam diskusi-diskusi pergerakan. Salah satu lagunya, Long Live Palestine, menjadi lagu hip-hop paling populer dan paling banyak diunduh di toko online paling populer, Amazon.
Separuh Irak Dan Inggris
Lowkey lahir di London, Inggris, pada 23 Mei 1986. Orang tuanya merupakan campuran dua bangsa: ibunya seorang keturunan Irak, sedangkan bapaknya asli Inggris. Ia sendiri dipaksa mengadopsi nama berbau Arab-Inggris: Kareem Dennis.
Tetapi Lowkey lebih bersimpati kepada bangsa ibunya, Irak dan dunia Arab. Ia sering membalut bahunya dengan keffiyeh Palestina. “Aku tidak dapat berbohong dan berpura-pura bahwa saya tidak punya hubungan dengan Arab,” katanya.
Lowkey sendiri sering menggambarkan dirinya sebagai “orang Inggris diantara orang Arab dan orang Arab diantara orang Inggris”.
Ia mengaku mengenal rap dari keluarganya. Orang tuanya suka mengoleksi lagu-lagu Public Enemy. Awalnya, ia meniru gaya rapper Amerika dan menggunakan aksen Amerika. Tetapi, dalam perkembangan kemudian, ia memilih nge-rap dengan menggunakan aksen sendiri.
Musik Yang Politis
Di tengah peradaban musik yang menjauh dari politik, Lowkey justru memposisikan musiknya sangat politis. Ia bahkan bercita-cita menjadikan musiknya sebagai alat penyadaran politik.
Hampir semua lirik-lirik lagunya berbau propaganda. Dalam album terbarunya, “Soundtrack to the Struggle”, kita akan menemukan lusinan lagu-lagu yang sangat politisi dan anti-imperialis.
Dalam lagu “Too Much”, dimana ia berkolaborasi dengan rapper Palestina, Shadia Mansour, Lowkey mengejek sistim kapitalisme yang mengukur segala sesuatunya dengan uang. “Uang bisa membeli kekuasaan, tetapi tidak bisa membeli rasa hormat,” katanya.
Dalam lagu “Voices of the Voiceless”, yang dibuatnya di West Bank, Palestina, Lowkey mewakili suara-suara korban peperangan dan rasisme. Ia seolah mewakili suara orang-orang dari Auschwitz hingga Hebron. Di lagu ini, Lowkey berkolaborasi dengan rapper Amerika keturunan peru-Afrika, Immortal Technique.
Lowkey makin menunjuk hidung imperialisme AS dengan lagu berjudul “Terrorist?”. Kata teroris identik dengan kaum muslim. Tapi, pada kenyataannya, tuduhan teroris juga sering diarahkan kepada di luar muslim, seperti Hugo Chavez dan Fidel Castro.
Ia malah menyindir AS sebagai negara ribuan basis dan pangkalan militer di berbagai belahan dunia. AS juga tidak malu-malu menggulingkan rejim-rejim yang berkuasa secara demokratis: Allende di Chile, Mossadegh di Iran, dan Patrice Lumumba di Kongo.
Di lagu yang lain, Obama Nation, Lowkey makin menguliti kejahatan imperialisme AS. Lagu ini dibuka dengan lirik menakjubkan:
This track is not an attack upon the American people 
It is an attack upon the system within which they live. 
Since 1945 the united states has attempted to 
Overthrow more than 50 foreign governments 
In the process the us has caused the end of life 
For several million people, and condemned many millions 
More to a live of agony and despair
Lagu “Obama Nation” ini dibuat beberapa bagian; sejauh ini ada tiga bagian. Pada lagu “Obama Nation part 2”, Lowkey berbicara mengenai Obama, yang merupakan presiden kulit hitam pertama di AS, tidak bisa menghentikan pemboman di jalur gaza. Di lagu “Obama Nation part 3”, kita akan mendengar pidato berapi-api dari Malcolm X.
Lagu Lowkey lainnya, Long Live Palestine, sengaja diperuntukkan untuk perjuangan rakyat Palestina. Lowkey pernah melakukan perjalanan langsung ke Jalur Gaza, West Bank, dan Ramallah. Ia terkadang harus menyelinap dari penjagaan pasukan Israel yang sedang memburunya.
Dalam satu bait lagunya, Lowkey menyorot sangat dekat ketidakadilan yang ditimpakan terhadap Palestina:
How many more resolutions have to be violated,
How many more children have to be annihilated
Israel is a terror state, there terrorists that terrorise,
I testify, my television televised them telling lies,
This is not a war, it is systematic genocide,
But whatever they try, Palestine will never die!!!
Free my people, long live Palestine,
We will never let you go
Aktivis Politik
Lowkey juga dikenal sebagai seorang aktivis politik. Ia sering tampil di tengah-tengah aksi massa. Dalam kampanye untuk pembebasan Palestina, Lowkey terlibat dengan organisasi solidaritas Palestina.
Selain itu, Lowkey juga sering hadir di tengah-tengah aksi Stop The War Coalition, sebuah koalisi anti-perang terbesar di Inggris. Ia sering menyampaikan orasi politik di tengah-tengah pertemuan akbar atau aksi massa.
Ia mendirikan organisasi non-profit bernama “People’s Army”. Organisasi ini bertujuan mengkampanyekan jenis hip-hop yang bisa menggembleng kesadaran kaum muda. Selain itu, lahir pula gerakan yang disebut “Gerakan Kesetaraan”, yang didanai oleh Lowkey, Logic dan aktivis Jody McIntyre.
Gerakan itu pernah mengorganisir pertemuan publik untuk membahas “apa itu imperialisme dan cara melawannya”, dimana Tariq Ali dan  Seumas Milne tampil sebagai pembicaranya.
Dalam berbagai kesempatan, Lowkey sering memuji perubahan yang terjadi di Amerika Latin, khususnya di Venezuela, Kuba, Bolivia, dan Ekuador. Nama pemimpin kiri Amerika Latin, seperti Hugo Chavez, Evo Morales, dan Fidel Castro, juga banyak disebut di dalam lagunya.
ULFA ILYAS

Jumat, 24 Februari 2012

Mahasiswa Unair Tolak Drop Out (DO) Mahasiswa


FAM Unair-teatrikal
Kebijakan evaluasi akademik di kampus Universitas Airlangga (Unair) terus menuai kontroversi. Terlebih lagi, akibat kebijakan evaluasi akademik yang dinilai bermasalah itu, puluhan mahasiswa mengalami pencekalan akademik dan dipaksa mengundurkan diri sebagai mahasiswa. 
Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (LAMRI), salah satu organisasi mahasiswa yang aktif membela hak-hak mahasiswa, menganggap tindakan pejabat Unair itu sangat arogan dan semena-mena.
“Evaluasi akademik itu mestinya membantu mahasiswa yang kurang mampu secara akademik agar menjadi lebih baik. Ini malah dipaksa mengundurkan diri,” kata humas LAMRI, Fareza Rahman, di Surabaya (21/2/2012).
Selain itu, menurut Fareza, evaluasi akademik pada semester ini terasa sangat aneh dan janggal. Jika mengacu pada peraturan Rektor Unair nomor 11/H3/PR/2009 tentang peraturan Pendidikan Universitas Airlangga, maka evaluasi akademik punya jadwal tertentu.
Untuk mahasiswa D3, evaluasi akademik mestinya dilakukan pada setiap semester genap pada akhir dua tahun pertama dan akhir tahun ketiga. Sedangkan untuk mahasiswa S1, evaluasi akademik mestinya dilakukan pada semester genap di akhir tahun kedua dan akhir tahun keempat.
“Ini malah evaluasi akademiknya dilakukan pada semester gasal dan belum memasuki akhir tahun kedua,” kata Fareza.
Menurut Fareza, kesalahan mekanisme ini sudah coba disampaikan kepada birokrasi fakultas dan universitas. Akan tetapi, pihak kampus terlihat mengabaikan protes dari para mahasiswa.
“Bahkan mereka dengan entengnya malah menyodorkan surat pengunduran diri dari Unair kepada para mahasiswa korban,” ungkapnya.
Sejauh ini, berdasarkan catatan LAMRI, sudah ada 18 mahasiswa dari Fakultas Sains dan teknologi (FST) dan 2 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) yang menjadi korban kebijakan itu.
LAMRI sendiri memperkirakan jumlah korban masih akan bertambah. Pasalnya, pihak Unair tidak membuka informasi perihal kebijakan ini. “Para korban umumnya mengetahui di cekal proses akademiknya pada saat hendak akan membayar SOP (Sumbangan Operasional Pendidikan),” ungkapnya.
LAMRI menuntut agar proses evaluasi akademik tidak hanya melemparkan kesalahan kepada individu mahasiswa. Sebab, naik-turunnya prestasi akademik juga dipengaruhi faktor-faktor lain, seperti pemadatan kurikulum, sistem pembelajaran dosen terhadap mahasiswa yang kejar target, masalah ekonomi keluarga mahasiswa, situasi psikologis pribadi mahasiswa dan lain sebagainya.
ABDUL MUNTHALIB

Ras Muhamad, Duta Reggae Yang Merakyat


Ras Muhamad
Apa yang bisa dibanggakan dari musik Indonesia saat ini? Lirik tidak bermakna, jenis musik hampir seragam, dan—maaf—terlalu cengeng. Kita hampir tidak menemukan kritik sosial dalam musik anak-anak muda zaman sekarang. 
Tetapi di reggae, musik progressif dari dunia ketiga itu, kritik sosial seakan sudah melekat. Salah satunya adalah Ras Muhamad, musisi reggae yang dikenal sebagai “Duta Reggae Indonesia” itu.
Bagi pengagum Bob Marley dan Peter Tosh ini, kritik sosial tidak bisa dipisahkan dari perjalanan musik reggae. “Musik reggae selalu menyuarakan rakyat,” kata pemuda yang punya nama asli “Muhamad Egar” ini.
Mengenali Reggae
Ras Muhamad dilahirkan di Jakarta. Akan tetapi, pada tahun 1990-an, Ras dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat. Ia kembali ke Indonesia pada tahun 2005.
Pada tahun 2003, menjelang kepulangannya ke Indonesia, Ras muhamad banyak bersentuhan dengan musisi reggae asal Jamaika di Brooklyn, New York.
Ras sendiri mulai membentuk band saat masih SMA. Ia tampil pertama kali menyanyikan reggae di Queens, New York.
Ras menyebut jenis reggae-nya sebagai “dancehall”, sebuah perpaduan reggae dan hip-hop. Ia juga banyak belajar dari musik reggae Bob Marley. Akan tetapi, Ras Muhamad tidak sekedar belajar tentang musik reggae itu, tetapi juga menyentuh hingga ke soal filosofi reggae itu sendiri.
Ras banyak mempelajari pemikiran seorang pemimpin Ethiopia, Haile Selassie. Haile Selassie punya pikiran progressif: mempromosikan multilateralisme, kolektifisme, dan menentang feodalisme. Ia juga dikenal sebagai pejuang Ethiopia melawan imperialisme Italia.
Selain itu, Ras juga mengaku sangat dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx, Gandhi, Che Guevara, Martin Luther King jr, dan Soekarno. Tidak jarang Ras berusaha mengawinkan ajaran Rastafari dan Bung Karno. Katanya, ada kesesuaian antara kedua ajaran tersebut: sama-sama menolak dijadikan bangsa budak, tidak mau menjadi bangsa kuli.
“Bung Karno dan Haile Selassie punya cita-cita sama. Saat konferensi Asia-Afrika di Bandung, pada tahun 1955, Bung Karno menjadi penggagas dan Haile Selassie hadir sebagai tamu,” katanya.
Musik Reggae Menyuarakan Rakyat
Ras banyak menyelami filosofi musik reggae. Karena itu, begitu tiba di Indonesia, Ras berusaha merekonstruksi fikiran orang mengenai musik reggae. “Musik Reggae dan rambut gimbal tidak identik dengan ganja dan gaya hidup santai tak tentu arah,” kata Ras.
Seorang pengikut ajaran rastafari punya filosofi hidup: bersih dari minuman keras, tidak merokok apalagi menghisap ganja, tidak memakan daging hewani, tidak melukai badan sendiri dengan tindik ataupun tattoo.
Menurut Ras, Reggae membawa misi sangat mulai: perdamaian, persatuan, dan kesetaraan umat manusia. Karena itu, musik reggae harus menjadi ungkapan atau suaranya kaum tertindas.
“Reggae identik dengan nyanyian-nyanyian rakyat,” kata Ras Muhamad.
Karena itu, bagi Ras Muhamad, musik reggae akan kehilangan rohnya jika mengabaikan atau masa bodoh dengan ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan penindasan terhadap rakyat.
Karena itu, sejak meluncurkan album pertamanya hingga sekarang, kritik sosial dan suara rakyat selalu nampak mencolok dalam lagu Ras Muhamad.
Itu sangat nampak dalam lagu-lagu di album pertama: reggae ambassador. Dalam lagu “Musik Reggae Ini”, Ras memperkenalkan reggae sebagai musik rakyat. Reggae, di negeri asalnya, Jamaika, adalah musik rakyat. Sama halnya dengan dangdut di Indonesia.
Di lagu lainnya, Leaving Babylon, diceritakan tentang pilihan: tinggalkan Babylon (barat) dan berpindah ke timur. Di barat, katanya, ia tidak menemukan cinta, kebahagiaan, dan kedamaian. Sedangkan di timur, tempat matahari terbit, ia justru menemukan harapan dan janji rastafari.
Di album pertama, Ras Muhamad menyisipkan sebuah lagu khusus untuk sang idola tercinta, Che Guevara. Lewat lagu “Simpre”, Ras menceritakan perjuangan kemanusiaan Che Guevara dan Fidel Castro.
Di album kedua, Next Chapter, Ras Muhamad malah makin garang. Di lagu berjudul “Crisis”, Ras bercerita tentang kemiskinan rakyat akibat krisis.
Masa crisis biaya hidup meninggi
Bertambah kritis gajian tak mencukupi
Jika penghasilan tak lagi memadai
Apa yg kau lakukan untk mengatasi ini..?

Di lagu yang lain, Make A Way, Ras Muhamad menelanjangi kebusukan sistim politik Indonesia saat ini. Lagu ini dibuat bersamaan dengan perhelatan akbar pemilu borjuis pada tahun 2009.
Ras mengeritik politisi pengumbar janji palsu dan suka membeli suara rakyat. Tetapi, di dalam lagunya itu, Ras tidak hanya pandai mengeritik. Ia mengajak generasi muda segera membuat “Jalan Baru”.
Baru-baru ini, dalam sebuah kolaborasi dengan penyanyi Glenn Fredly, Ras menciptakan lagu berjudul “Tanah Perjanjian”. Lagu itu didedikasikan untuk perjuangan rakyat Papua agar keluar dari belenggu penindasan.
Keadilan sosial semestinya terbagi rata
Tak memandang kulit, kelas bahkan bola mata
Di hadapan illahi kita semua ini sama
Yang membedakan kita hanya dosa dan pahala
Persatuan tak tercapai dengan laras senjata
Perdamaian tak tercapai dengan secara paksa
Tanah perjanjian harusnya tertanam pancasila
Negeriku semestinya adil dan sejahtera

Menurut Glenn Fredly, kawan Ras Muhamad, soal Papua sebagai pulau yang kaya akan sumber daya alam dan juga sumber daya manusia, namun sengaja dimiskinkan.
“Semenjak Freeport masuk hingga hari ini, mungkin pemerintah sudah dapat yang diinginkan. Tapi masyarakat Papua sendiri tidak mendapatkan porsi yang semestinya,” kata Glenn.
Akhirnya, seperti juga Bob Marley dan Peter Tosh, Ras Muhamad tidak dapat menghindari pengaruh politik dalam musiknya. Ia berharap, kedepan akan tampil pemimpin muda di Indonesia dan sanggup melakukan perubahan.
ULFA ILYAS

Rabu, 15 Februari 2012

Bung Karno Dan Empat Strategi Melawan Imperialisme


Bung Karno pidato di depan rakyat
ndonesia adalah negara yang sangat luas. Negeri ini sama luasnya dengan penggabungan tujuh negara eropa: Inggris, Perancis, Jerman barat, Belgia, Belanda, Spanyol, dan Italia. 

Pada permulaan abad 20, jumlah penduduk Indonesia adalah enam kali lipat dari negeri yang menjajahnya: Belanda. Selama berabad-abad bangsa Indonesia berjuang melawan kolonialisme Belanda itu.
Pada permulaan abad 20, pada tahun 1920-an, muncul seorang pionir dari gerakan pembebasan nasional Indonesia: Soekarno. Berbagai gerakan politik yang diusung oleh Soekarno, juga penyebaran gagasan-gagasannya, dianggap mengancam eksistensi kekuasaan kolonial.
Soekarno, yang banyak dipengaruhi oleh gagasan Marxisme dan aliran nasionalisme progressif, banyak membenangkan hidupnya dalam pekerjaan menganalisa watak imperialisme dan cara-cara melawannya.
Empat strategi imperialisme
Pada tahun 1930, di dalam penjara kolonial, Bung Karno menyusun sebuah pidato pembelaannya (pledoi). Berkat bantuan istrinya, Inggit Ginarsih, yang setia menyelundupkan buku-buku ke dalam penjara, Bung Karno mematangkan pandangannya tentang imperialisme.
Salah satu analisa Bung Karno yang sangat menarik adalah empat strategi imperialisme untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia:
Pertama, sistem imperialisme melahirkan politik divide et impera, yakni politik memecah-belah.
Menurut Soekarno, imperialisme di mana saja, apapun bentuknya, punya slogan yang sama: “Verdeel en heers”—pecahkan dan kuasai! Dengan menggunakan mantra itu, kolonialisme bisa membangun kekuasaan di negara lain.
Itu pula yang terjadi di Indonesia. Negeri yang luasnya 60 kali luas Belanda ini bisa ditaklukkan sampai ratusan tahun. Tentu saja, kata Soekarno, senjata pamungkas belanda terletak pada politik “divide et impera”.
Ada banyak cara untuk menjalankan politik adu domba ini: menggunakan media massa untuk meniupkan perpecahan. Di sini, pers-pers belanda selalu merendahkan, bahkan melemahkan, setiap upaya pembangkitan nasionalisme kaum inlander (bumiputra); menjalankan politik “eilandgouvernementen”—pemerintahan sepulau-sepulau—dengan memecah belah administrasi pemerintahan; menggunakan agama untuk memicu konfrontasi dengan pemeluk agama lain.
Kedua, sistem imperialisme menetapkan bangsa Indonesia dalam kemunduran.
Imperialisme berusaha membawa bangsa Indonesia ke arah kemuduran. Caranya, salah satunya, adalah penghancuran fikiran-fikiran (akal budi) rakyat.
Politik kolonial mengubah rakyat Indonesia menjadi rakyat kecil, “nrima”, rendah pengetahuannya, lembek kemauannya, sedikit nafsu-nafsunya, hilang keberaniannya. Pendek kata, kolonialisme mengubah rakyak Indonesia menjadi (maaf) rakyat kambing yang bodoh dan mati energinya.
Pemikir perancis yang anti-kolonial, Frantz Fanon, juga menguraikan bagaimana kolonialisme menghancurkan budaya dan karakter rakyat. Akibatnya, rakyat di negara jajahan ditingalkan dalam kebingungan intelektual dan moral.
Ketiga, sistem imperialisme membangun kepercayaan di dalam hati dan fikiran rakyat, bahwa bangsa penjajah lebih superior dibanding bangsa terjajah.
Kolonialisme di mana saja, kata Bung Karno, selalu berusaha menutupi maksudnya, bahkan menciptakan teori manis untuk mencapai tujuan mereka.
Tidak jarang, misalnya, kita menemukan literatur yang menyebutkan bahwa misi kolonialisme adalah “misi suci” (mission sacree): penyebaran agama, menyebarkan pencerahan, dan membuat rakyat jajahan menjadi “beradab”.
Tidak jarang, dalam upaya menanamkan superioritasnya, pihak kolonialis melegitimasi keunggulan-keunggulan rasial: kulit putih lebih unggul dari kulit berwarna. Dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, kita sering mendengar bagaimana cacian “inlander” disepadamkan dengan makian “anjing”, “kerbau”, dan lain-lain.
Yang lebih parah, seperti diakui Bung Karno, rakyat Indonesia dicecoki dengan anggapan “inlander bodoh”. Dengan cekokan itu, yang berlangsung secara turun-temurun, rakyat jajahan kehilangan kepercayaan diri dan kebanggaannya.
Keempat, sistem imperialisme membangun kepercayaan di dalam hati dan fikiran rakyat, bahwa kepentingan rakyat akan sejalan dengan kepentingan imperialisme.
Imperialisme juga sangat piawai menutupi adanya pertentangan kepentingan antara pihaknya dengan rakyat di negara jajahan. Di bidang ekonomi, misalnya, dikatakan bahwa imperialisme memberi keuntungan, seperti adanya industrialisasi, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain.
Penanaman modal asing, sebagai salah satu ciri imperialisme, dipropagandakan membawa keuntungan bagi rakyat jajahan: ada proses pembangunan, ada pembukaan lapangan kerja, ada pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya.
Dengan keempat senjata di atas, kolonialisme Belanda sanggup mempertahankan kekuasannya ratusan tahun di Indonesia.
Empat Strategi Kontra-Imperialisme
Dengan berpegan pada analisa di atas, Bung Karno pun merumuskan dasar politik anti-imperalismenya. Ini pula yang mendasari pendirian partainya: Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pertama, menjalankan politik kontra pecah belah.
Soekarno, sejak terjun dalam dunia pergerakan, menyadari bahwa kemerdekaan tidak mungkin tercapai tanpa adanya persatuan seluruh rakyat Indonesia.
Pada tahun 1926, setahun sebelum pendirian PNI, Bung Karno sudah merumuskan konsep persatuan gerakan rakyat melalui tulisan “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”.
Dalam tulisan itu, yang didalamnya disertai penjelasan yang sangat mendalam, Bung Karno menegaskan bahwa tiga aliran dalam politik Indonesia, yaitu nasionalis, agama, dan marxis, bisa bersatu untuk mencapai Indonesia merdeka.
“Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi roh-nya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini,” tulis Bung Karno, seraya menekankan pentingnya persatuan itu.
Politik persatuan dalam revolusi nasional ini menjadi politik Bung Karno hingga akhir hayatnya. Begitu gigihnya Bung Karno memegang keyakinan politik itu, banyak orang yang menggelari Bung Karno sebagai bapak persatuan.
Kedua, menjalankan kontra kemunduruan, yakni kontra dekadensi akal-budi.
Dalam lapangan ini, Bung Karno tidak berhenti menganjurkan perlunya memperluas pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat, dan mengurangi buta-huruf di kalangan rakyat.
Di PNI, Bung Karno mengharuskan adanya kursus politik, penciptakan mesin propaganda berupa koran, dan pembentukan “massa aksi”.
Setelah Indonesia merdeka, Bung Karno menyadari bahwa mental warisan kolonial belum sepenuhnya menghilang. Karenanya, ia pun menggagas apa yang disebut sebagai pembangunan bangsa dan karakternya (nation and character building).
Dengan revolusi mental semacam itu, kita berharap bisa menjebol fikiran kolot dan fikiran-fikiran rendah diri.
Ketiga, kontra penanaman kepercayaan bahwa kita bangsa kelas kambing.
Azas PNI adalah “self-reliance” (jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari) di kalangan rakyat Indonesia.
Menurut Soekarno, tugas pokok PNI adalah membanting-tulang untuk memberantas segala sikap inferioriteitini. Bung Karno juga membongkar kebohongan-kebohongan di balik teori penghalusan kolonialisme.
Bung Karno sangat getol menggempur sikap inferioritas ini. Ketika Indonesia sudah merdeka pun, supaya tidak terperangkap kembali dalam jebakan imperialisme, Bung Karno mengobarkan konsep Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
Keempat, kontra politik persatuan (kolaborasi) dengan kaum sana (imperialis).
Hampir semua tulisan Bung Karno menguraikan perihal pertentangan kepentingan yang tak terdamaikan antara negara jajahan dan imperialisme.
Bagi Bung Karno, negara jajahan tidak akan bisa melakukan emansipasi, bahkan dalam derajat paling minimum sekalipun, jika tidak menghancur-leburkan kolonialisme dan imperialisme hingga ke akar-akarnya.
Oleh karena itu, dalam strategi perjuangannya, Bung Karno menganjurkan sikap radikalisme (non-koperasi), yakni perjuangan yang tidak setengah-setengah, apalagi tawar-menawar, yakni perjuangan yang hendak menjebol kapitalisme-imperialisme hingga ke akar-akarnya.
TIMUR SUBANGUN
Kontributor Berdikari Online

Senin, 13 Februari 2012

Partai Nasional Indonesia (19)


Pidato Indonesia Menggugat
Oleh : Ir. Soekarno
Bung karno Pidato di depan Rakyat
Marhaenisme
Menyuruh memeluk kromoisme? Tuan-tuan Hakim, menyuruh memeluk kromoisme, sebagaimana susunan pergaulan hidup Eropa menyuruh kaum sosialis memeluk proletarisme pula! Sebab susunan pergaulan hidup Indonesia sekarang adalah pergaulan merk Kromo, pergaulan hidup merk  marhaen,- pergaulan hidup yang sebagian besar sekali adalah terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, pendek kata: ……kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil! Suatu golongan borjuis nasional[1] yang kuasa sebagai di India, suatu golongan borjuis yang tenaganya bisa dipakai di dalam perjuangan melawan imperialisme itu dengan; politik “selfcontaining”[2]di sini boleh dikatakan tidak ada. Banyak kaum  nasionalis bangsa Indonesia, yang mengatakan, bahwa pergerakan Indonesia harus meniru pergerakan India dengan mengadakan pula boikot ekonomi atau swadeshi sebagai  di India itu. Kami menjawab: kalau bisa memang bagus, tetapi pergerakan Indonesia tidak bisa meniru pergerakan India, tidak bisa ikut-ikut mengadakan swadeshi, tidak bisa memakai tenaga suatu golongan borjuis nasional, oleh karena di Indonesia tidak ada golongan borjuis nasional yang kuasa itu. Pergerakan Indonesia haruslah suatu pergerakan yang mencari tenaganya di dalam kalangan Kang Kromo dan Kang Marhaen saja, oleh karena Indonesia hampir melulu mempunyai  kaum kromo dan kaum Marhaen belaka! Di dalam tangan kaum Kromo dan kaum Marhaen itulah terutama letaknya nasib Indonesia, di dalam organisasi kaum kromo dan kaum Marhaen itulah terutama letaknya nasib Indonesia, di dalam organisasi kaum kromo dan kaum Marhaen itu terutama harus dicari tenaganya. Siapa dari kaum pergerakan Indonesia menjauhi atau tak mau bersatu dengan saudara-saudara “rakyat rendah” yang sengsara dan berkeluh kesah itu, siapa yang menjalankan politik “salon-salonan” atau “menak-menakan”, siapa yang tidak memperusahakan marhaenisme atau kromoisme, – walaupun ia seribu kali sehari berteriak cinta bangsa cinta rakyat, ia hanyalah menjalankan politik yang………Cuma”politik-politikan” belaka!
Kekromoan dan kemarhaenan!, – itulah kini gambar susunan pergaulan hidup kami. Sebab sistem imperialisme di Indonesia adalah dari sejak semulanya, dari zaman Kompeni  sampai ke zaman Cultuurstelsel, dari zaman  Cultuurstelsel, sampai ke zaman modern, merebut dan membasmi tiap-tiap perusahaan besar daripada rakyat kami dengan sulur-sulurnya dan akar-akarnya, mengalang-ngalangi dan membikin tidak bisa lebih hidup suatu perusahaan kerajinan atau industri atau ondernemingIndonesia apa pun juga. Perdagangan, pelayaran, pertukangan, – semua matilah oleh pengaruh imperialisme-tua dan imperialisme modern yang kedua-keduanya monopolistis itu!
Kini tinggallah perdagangan kecil belaka, pelayaran kecil belaka, pertukangan kecil belaka, pertania kecil belaka, ketambahan lagi milyunan kaum buruh yang sama sekali tiada perusahaan sendiri,-kini pergaulan hidup Indonesia itu hanyalah pergaulan hidup kekromoan dan kemarhaenan saja!
Tuan-tuan Hakim, sempitnya tempo mengalang-alangi kami menguraikan dan membuktikan keadaan yang penting ini lebih luas, tetapi satu dua dalil dari bangsa Eropa yang terpelajar, tak bisa kami tinggalkan, misalnya dari Raffles, Prof. Veth, Prof. Kielstra, Prof. Gonggripj, Prof. V. Gelderen, ataupun Schmalhausen, Rouffaer, dan lain-lain yang semuanya adalah membuktikan kebenaran kata kami itu!
Di dalam buku Raffles yang termashur tentang tanah Jawa, kami membaca tentang imperialisme-tua:
    “Begitu sukarnya menggambarkan dengan panjang lebar, luasnya perdagangan di tanah Jawa pada saat orang Belanda mulai berdiam di laut-lau Timur, begitu pula menyedihkan hati membuktikan dengan cara bagaimana perdagangan itu oleh perbuatan bangsa  asing dialang-alangi, diubah sama sekali dikecil-kecilkan, oleh kekuasaan monopoli yang bobrok, oleh ketamakan dan keserakahan akan duit dibarengi kekuasaan, dan oleh kelaliman yang picik dari suatu pemerintah saudagar”…..
    “Demikianlah pasal-pasal yang terpenting dari tiga puluh satu pasal mengenai pembatasan, yang membelenggu tiap gerak perdagangan dan memadamkan bara yang penghabisan dari semangat berusaha, untuk memuaskan pemandangan-pemandangan picik angkara murka, yang bisa disebut kefanatikan akan keserakahan kepada harta.[3]
Tuan-tuan Hakim, Raffles adalah terkenal sebagai pembenci bangsa Belanda! Karena itu, marilah kita menyelidiki pendapat pujangga-pujangga Belanda sendiri dan kita akan mendengar pendapat yang tidak berbeda. Tidakkah Prof. Veth tentang imperialisme-tua itu mengatakan, bahwa bangsa kami,
    “dalam abad ke-16, seperti juga di zaman Majapahit, terutama terkenal sebagai kaum saudagar yang besar usaha, kaum pelaut yang gagah, kaum perantau yang  berani, dan bahwa mereka umumnya……telah harus mengalami perubahan yang besar untuk menjadi petani-petani yang diam dan damai seperti sekarang ini”, dan bahwa:
    “nyata” sekali, bahwa semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai kutu-kutunya dan bahwa (mereka) tak luput dari bekerjanya obat tidur penjajahan yang lama di bawah bangsa asing yang lebih kuat”![4]
Tidakkah Prof. Kielstra menulis:
    “Politik perdagangan bangsa Belanda menyebabkan banyak sumber-sumber penghidupan menjadi tertutup atau kering sama sekali; tapi perduli apa! Tidakkah orang…..mengajarkan, bahwa orang tak boleh menyimpang dari pendirian, bahwa rakyat yang miskin paling gampang bisa diperintahi!”[5]
Dan haraplah perhatikan perkataan Prof. Gonggrijp yang berbunyi:
    “Usaha yang hebat untuk mengekalkan monopoli itu sudah membinasakan kesejahteraan pulau-pulau Maluku dan menindas semangat dagang dan nafsu berusaha yang (masih) ada sedikit pada penduduk bumiputra”![6]
Haraplah memperhatikan pula pendapat Prof. Van Gelderen yang menulis di dalam buku pidato-pidatonya:
    “Dengan adanya perpustakaan yang luas, kini tak bisa disangkal lagi, sudah ada permulaan perdagangan yang aktif dan teratur, lalu lintas tukar-menukar dengan seberang lautang dengan alat-alat yang ada waktu itu…..oleh adanya sistemcontingenten dan leverantien![7] Kemudian oleh adanya sistem tanaman paksaan, maka produsen Bumiputra didesak dari pasar dunia dan dialang-alangilah tumbuh suburnya suatu kelas majikan dan kelas saudagar bangsa sendiri”![8]
    Orang bisa membantah, “O, itu keadaan tempo dulu, keadaan sekarang sudah lain!”
O, memang,-itu keadaan tempo dulu, itu jahatnya imperialisme-tua! Tetapi keadaan sekarang, di bawah imperialisme modern, tidak lain halnya! Keadaan sekarang masih tetap mengalang-alangi timbulnya suatu kaum perusahaan besar di Indonesia, tetap “mengkromokan”, tetap, memarhaenkan” di dalam tendensnya, – walau, dengan meminjam lagi perkataan Stokvis, “melalui jalan-jalan yang lebih sunyi”, “langs stillere wegen”. Keadaan sekarang tetap menunjukkan suatu pergaulan hidup tani kecil, pedagang kecil, pelayar kecil, segalanya kecil, beserta berjuta-juta kaum yang tak mempunyai suatu milik atau perusahaan sendiri yang bagaimana kecilnya pun, proletar, yang (terbawa oleh tendens imperialisme-modern yang menurut Prof. Van Gelderen membikin kami menjadi “rakyat kaum buruh”, dan “si buruh antara bangsa—bangsa”), makin lama makin bertambah.
Dalil- dalil? Haraplah memperhatikan perkataan bekas Asisten Residen Schmalhausen, yang atas laporan Du Bus yang berbunyi:
    “Hal yang sama, dan malahan lebih-lebih lagi, terjadi dengan barang tenunan. Jawa di zaman dulu mengambil kain-kain yang agak halus dari pesisir, tapi yang untuk keperluan sehari-hari dibikinnya sendiri untuk kebutuhan tanah Jawa dan buat sebagian besar juga untuk Kepulauan Hindia. Berkapal-kapal kain-kain itu meninggalkan tanah Jawa dan disebarkan ke pulau-pulau sekitarnya. Sekarang kita memasukkan di tanah Jawa dan kepulauan Hindia kita punya kain-kain Belanda…..Di dalam pertentangan ini perusahaan Bumiputra menjadi mundur dan pabrik-pabrik kita di negeri Belanda ada harapan akan bisa menggantikannya sama sekali dalam waktu yang pendek”.
Menulis komentar buat zaman sekarang yang mengatakan:
    “sedangkan Du Bus menyebutkan di antara sebab-sebab maka keadaan jelek, ialah hilangnya beberapa banyak barang-barang ekspor yang lain, di samping tertahan-tahannya  pengeluaran beras, maka kita di zaman ini bisa pula mengatakan, bahwa banyak industri-industri Bumiputra binasa atau merana hidupnya![9]
Dan adakah beda tulisan G.P. Rouffaer yang berbunyi:
    “Dalam keadaan demikian itu, maka tidak boleh tidak perusahaan kain Bumiputra…makin lama makin tertindas oleh banyaknya impor dari luar negeri.”[10]
Tidak, tidak ada bedanya. Dan tidak bedalah pula nasib perusahaan-perusahaan Indonesia yang lain. Di manakah sekarang kami punya pelayaran? Dimanakah kami punya perusahaan besi dan kuningan, kami punya kaum pedagang? Sesungguhnya, benarlah tulisan Prof. Van Gelderen yang berbunyi:
    “………suburnya industri-industri modern ini, sudah mendesak usaha-usaha industri rumahan yang agak maju. Perdagangan ekspor Bumiputra binasa dan industri setempat-setempat hilang tersapu oleh gelombang barang-barang impor yang murah, hasil bikinan terbanyak-banyak”. [11] “….Begitulah maka, juga di dalam zaman tanaman merdeka, yang datang sesudah zaman cultuurstelsel, berlaku terus perpisahan antara si tani Jawa, – dan dengan ini sebenarnya segenap penduduk Bumiputra,- dan pasar dunia zaman sekarang. [12]
Tuan-tuan hakim, dengan pergaulan hidup yang demikian ini, dengan pergaulan hidup yang tiada kelas perusahaan besar ini, dengan pergaulan hidup yang hampir penuh dengan kaum kromo dan kaum marhaen saja ini, kami dari Partai Nasional Indonesia, yang selamanya berdiri diatas realiteit itu,  kami harus menjalankan politik yang Kromoistis dan Marhaenistis pula. Tidak bisalah kami mencoba mengalahkan imperialisme itu dengan mendesaknya ke luar dengan kekuatan persaingan ekonomi, tidak bisalah kami mencoba melemahkan dayanya dengan daya “selfcontaining” yang  nasional-ekonomis sebagai di India itu. Kami hanya bisa mengalahkannya dengan aksi Kang Kromo dan Kang Marhaen, dengan massa-aksi kebangsaan yang sebesar-besarnya. Kami mencoba menyusun-nyusun energi massa yang berjuta-juta itu, mencoba membelokkan energi segenap kaum intelektual Indonesia ke arah susunan massa ini; kami mencoba, -dan kami yakin akan bisa-, kami mencoba memberi keinsafan pada kaum intelektua Indonesia itu, bahwa di dalam kalangan massa inilah mereka harus terjun dan berjuang, di dalam kalangan massa inilah mereka harus mencari kekuasaan bangsa, – jangan lebih dulu hanya menjalankan politik “salon-salonan” saja, menggerutu sendiri-sendiri atau marah-marah di dalam kalangan sendiri saja.
Tidak! “Di dalam massa, dengan massa, untuk massa!”,- itulah harus menjadi semboyan kami dan semboyan tiap-tiap orang Indonesia yang mau berjuang untuk keselamatan tanah air dan bangsa!


[1] Golongan borjuis nasional=kaum modal bangsa sendiri.
[2] Politik selfcontaining, ialah politik membikin sendiri kebutuhan rakyat, jadi tidak membeli barang bikinan kaum imperialis, melainkan segala kebutuhan itu dibikin oleh perusahaan bangsa sendiri.
[3] Sir Thomas. S. Raffles, dalam buku “Geschiedenis van Java” terjemahan van de Sturier 1836, hal. 116, 140.
[4] Veth dalam “Java” I hal. 299.
[5] E.B. Kielstra dalam “De vestiging…..” hal.19.
[6] George Gonggrijp dalam “Schets ener economische gescftiedenis” hal.122
[7] Lihatlah buat maknanya, catatan kaki no. 36, 37.
[8] Prof, van Gelderen, dalam “Voorlezingen…”hal.122.
[9] Schmalhausen, dalam buku “Over Java” hal. 139.
[10] Gerret Piete Rouffaer, dalam buku “De Voornaamste Industrieen” hal. 2
[11] Dr. Schrieke dalam “Western Influence etc” hal.99.
[12] Van Gelderen “Voorlezingen” hal. 123.

Minggu, 12 Februari 2012

SRMI Surabaya Gelar Pelatihan Kerja Untuk Rakyat Miskin


SRMI gelar pelatihan kerja
SURABAYA (BO): Berbagai cara dipergunakan aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) untuk memperjuangkan kaum miskin. Tidak hanya melalui kritikan dan aksi protes, tetapi juga cara-cara lain yang dianggap efektif. 
Di Surabaya, Jawa Timur, pengurus SRMI menggelar pelatihan kerja. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari: 6-7 Februari 2012. Seratusan ibu-ibu dan kaum miskin berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Menurut Ketua SRMI Surabaya, Kamaruddin Koto, kegiatan ini merupakan hasil kerjasama antara SRMI dan Pemkot Surabaya.
“Program ini tidak jatuh dari langit. Kami berjuang cukup lama untuk memaksa Pemkot Surabaya mau menciptakan program yang membantu kaum miskin,” kata Kamal—sapaan akrab Kamaruddin Koto.
Kamal menjelaskan, selama ini rakyat miskin, khusus waria, PSK, dan pengamen, sering menjadi korban ‘garukan’ oleh pemerintah, tapi tidak pernah diberi solusi konkret berupa pekerjaan yang layak.
“Kita minta kepada Pemkot Surabaya, jangan asal menangkap orang miskin, tapi berikan solusi konkret. Ini pemicunya ketiadaan pekerjaan, maka ciptakan lapangan kerja buat rakyat,” kata Kamal.
Pelatihan kerja ini berlangsung di Kampung Ilmu Surabaya. Ada empat jenis pelatihan kerja yang diberikan: pelatihan tata boga, pelatihan tata rias, pelatihan menjahit, dan pelatihan service barang elektronik.
Masing-masing bidang pelatihan dibimbing oleh tutor berpengalaman. Para peserta tampak bersemangat mengikuti pelatihan ini.
Kedepan, Kamal berharap agar program ini bisa diperluas hingga ke tingkat RT/RW di seluruh kota Surabaya. Ia juga berharap, selain memberikan pelatihan kerja kepada rakyat misin, Pemkot Surabaya juga mengucurkan kredit mikro untuk membantu kaum miskin membuka unit-produksi kecil-kecilan.
Acara pelatihan ini juga dihadiri oleh pimpinan Satpol PP kota Surabaya. Kepada pimpinan Satpol PP, Kamal menyampaikan agar Satpol PP merubah cara pandang terhadap kaum miskin.
“Jangan anggap kaum miskin sebagai sampah masyarakat. Tapi anggaplah mereka korban kegagalan pemerintah. Mereka punya hak konstitusional untuk hidup layak. Maka, tugas Satpol PP adalah melindungi mereka,” kata Kamal.
ABDUL MUNTALIB

Ketika Bung Karno Berbicara Soal Krisis Kapitalisme


Bung Karno sering dianggap tidak faham ekonomi. Herbert Feith, dalam buku The Decline of Constitutional Democracy, mengkategorikan Bung Karno sebagai pemimpin solidarity maker (pemimpin massa). Feith menyebut tipe pemimpin solidarity maker hanya memiliki keahlian menghimpun dan membakar gelora massa, tapi tidak memiliki kecakapan untuk mewujudkannya. 
bung-karno-menulis
Frans Seda, yang pernah menjadi menteri menjelang akhir kekuasaan Bung Karno, menganggap pengetahuan Bung Karno tentang ekonomi sangatlah berbobot. Tetapi, kata Frans Seda, pengetahuan ekonomi Bung Karno tidak bisa disamakan dengan Hatta.

“Bung Hatta menguasai ilmu dan analisa tentang sistem dan proses ekonomi, sedangkan Bung Karno punya feeling sebagai seniman cendekia tentang sistem ekonomi dengan segala implikasinya,” terang Frans Seda dalam buku “Frans Seda-Simfoni Tanpa Henti- Eknomi Politik Masyarakat Baru Indonesia”, yang diterbitkan Grasindo tahun 1992.
Bung Hatta memang pernah mengikuti pendidikan formal mengenai ekonomi secara mendalam di Rotterdam, Belanda. Boleh dikatakan bahwa Bung Hatta merupakan ahli ekonomi pertama dalam sejarah Indonesia. Bung Karno punya buku lengkap yang secara khusus membahas teori-teori ekonomi, yaitu “Beberapa Fasal Ekonomi”, yang ditulisnya dari tahun 1935 hingga 1941.
Sementara Bung Karno belajar ekonomi (dan politik sekaligus) dari guru-guru sosial-demokratnya dan karangan-karangan ekonom marxist yang terkenal jaman itu seperti Rudolf Hilferding, JA Hobson, Karl Kautsky, dan Rosa Lusemburg.
Dan, seperti dikatakan Frans Seda, Bung Karno-lah yang paling getol dan konsisten menggunakan analisa ekonomi marxisme dalam menganalisa struktur masyarakat, sistem kolonialisme, dan juga feodalisme. Bung Karno sendiri merumuskan gagasan-gagasannya dalam Pokok-Pokok Sistem Ekonomi Terpimpin.
Dalam sebuah kuliah tentang Pancasila di Istana Negara, 3 September 1958, Bung Karno menguraikan panjang lebar soal krisis kapitalisme. Katanya, Kapitalisme itu punya penyakit yang inherent, yaitu suatu pembawaan (sifat) dari kapitalisme itu sendiri. Penyakit inherent itu adalah kapitalisme akan selalu diganggu dengan krisis dan krisis itu terkadang berlangsung periodik.
Pandangan Bung Karno mengenai krisis kapitalisme yang bersifat inheren, tentunya sangat dekat dan akrab dengan analisa Marxisme. Dalam Manifesto Komunis yang digarap oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dikatakan:
    “Sudah sejak berpuluh-puluh tahun sejarah industri dan perdagangan hanyalah sejarah pemberontakan tenaga-tenaga produktif modern melawan syarat-syarat produksi modern, melawan hubungan-hubungan milik yang merupakan syarat-syarat untuk hidup bagi borjuasi dan kekuasaannya. Cukuplah untuk menyebut krisis-krisis perdagangan yang dengan terulangnya secara periodik, setiap kali lebih berbahaya, mengancam kelangsungan hidup seluruh masyarakat borjuis. Di dalam krisis-krisis ini tidak saja sebagian besar dari baranghasil-baranghasil yang ada, tetapi juga dari tenaga-tenaga produktif yang telah diciptakan terdahulu, dihancurkan secara periodik.
Pernyataan Marx dan Engels itu juga diulangi Bung Karno. Menurut Bung Karno, saat kapitalisme banyak untung datanglah krisis. Pada saat kapitalisme hidup lagi, datang lagi krisis ekonomi. “Hidup lagi, banyak lagi untung, krisis lagi,” kata Bung Karno, seolah mengulang dalil-dalil Marxisme.
Bung Karno pun akrab dengan istilah “conjunctur” (kenaikan) dan “krisis” (kejatuhan). Ia mencatat bahwa terkadang periode krisis itu berlangsung “beberapa puluh tahun sekali”. Tetapi ada periode yang cukup lama, sering disebut “Im Aufstieg”, yaitu dari periode abad ke-18 hingga abad ke-20. Dalam periode itu adaconjunctur dan krisis.
Berikut cara Bung Karno menjelaskan conjucture itu:
    “Barang produksi banyak dan juga laku, sehingga meerwaarde (nilai tambah) yang masuk ke kantong sang pengusaha banyak sekali. Produksi tinggi dan selalu habis terjual. Ini namanya conjunctur. Memang, kapitalisme membuat barang untuk dijual. Kapitalisme tidak membuat barang untukindividuale consumptie. Sang kapitalis membuat barang itu tidak untuk dirinya. Kapitalis membuat kue mari misanya, membikin itu bukan untuk dimakan sendiri. Tetapi: untuk dijual dengan untung. Untung adalah sebagian daripada meerwaarde yang masuk ke dalam kantongnya. Ini adalah sifat dari kapitalisme: produksi untuk dijual dengan untung.”
Tetapi, kata Bung Karno lebih lanjut, produksi itu akan sampai pada suatu titik dimana tidak semua hasil produksi tidak habis terjual. Itulah yang disebut krisis overproductie (over-produksi). Situasi itu terjadi, katanya lagi, ketika suatu barang tidak bisa dijual lagi, produksi mandeg atau terpaksa diperkecil atau dikurangi.
Ketika itu terjadi, kata Bung Karno, biasanya si kapitalis akan merespon dengan perbaikan dalam sistem produksi; perbaikan mesin-mesin, propaganda daripada produksinya yang lebih menarik kepada rakyat; penekanan daripada tenaga kaum buruh yang georganiseerd (terorganisir) di dalam serikat-serikat pekerja, dan lain sebagainya.
Analisa Bung Karno itu lagi-lagi sangat kental dengan analisa Marxisme; bahwa kejatuhan tingkat keuntungan akan direspon si kapitalis dengan mekanisasi produksi, menyebarkan iklan, memperluas sistim kredit konsumsi, dan menekan upah pekerja dan menghancurkan gerakan buruh terorganisir.
Pada suatu titik, seperti diuraikan Bung Karno, mekanisasi alat-alat produksi dan efisiensi itu mencapai tingkat maksimum, yaitu suatu fase dimana kecakapan manusia sudah sampai pada puncaknya untuk memperbaiki alat-alat. Saat itu, sistim bedrijf (perusahaan) sudah tidak bisa lagi disempurnakan.
Sementara, bersamaan dengan situasi itu, gerakan buruh sudah tumbuh dengan kuat dan terorganisir. Gerakan buruh menuntut kenaikan terhadap upah dan kondisi kerja mereka. Pada saat itulah, kata Bung Karno menyimpulkan, keuntungan (meerwaarde) si kapitalis akan semakin mengecil atau berkurang.
Bung Karno pun mencontohkan krisis yang menimpa pabrik-pabrik mobil Amerika Serikat jaman itu: Chrysler dan Ford Continental. Keduanya harus ditutup untuk sementara karena krisis.
Pada saat itulah, kapitalisme yang semakin kelelahan semakin tidak terhindarkan dari krisis-krisis yang lebih besar. Terjadilah periode yang disebut Niedergang (penurunan).
Bahkan, lebih hebat lagi, Bung Karno bisa menguraikan bagaimana krisis kapitalisme bisa menciptakan fasisme. Menurut Bung Karno, ketika kapitalisme mengalami periode krisis yang mendalam, maka demokrasi parlementer juga akan mengalami krisis dan tidak mampu bekerja.
Penyebabnya: Demokrasi parlementer memberikan kesempatan kepada semua orang untuk ikut bermusyawarah, tetapi alat propaganda, surat kabar, sekolah dll tetap di tangan si kapitalis. Meskipun kaum buruh bisa berpartisipasi dalam parlemen ini, tetapi mereka sulit untuk menguasai parlemen ini. Sehingga kaum buruh tidak bisa menuntaskan persoalannya.
Pada titik itulah, ketika demokrasi parlementer tak lagi menjadi jawaban atas krisis, maka kapitalisme memberi jalan kepada fasisme untuk menyelamatkan sistem. Inilah yang terjadi ketika kapitalisme mengalami krisis berat pada tahun 1920-an hingga 1940-an: kebangkitan fasisme dan perang dunia.
Bung Karno memang tidak bisa menjelaskan ekonomi secara “jelimet” (jeli), tetapi ia mengerti dengan betul apa itu ekonomi secara filosofis dan operasional. Ia mengerti dengan baik bagaimana sebuah ekonomi dapat diorganisir untuk kesejahteraan rakyatnya. Hanya saja, memang, pembangunan ekonomi tidak serta-merta dapat dihitung dengan rekenlat (mistar).
*) Anggota Redaksi Berdikari Online.

Didemo Korban Banjir, Pemerintah Venezuela Langsung Merespon


chavez-ibu
Sudah berapa kali Istana Presiden didemo oleh massa rakyat? Pernahkah Presiden SBY merespon atau memenuhi tuntutan itu? Jangankan merespon dengan baik, keluar menemui massa pun tidak pernah dilakukan oleh Presiden SBY. 
Tetapi tidak demikian dengan pemerintahan revolusioner di Venezuela. Setelah didatangi demonstran dalam dua minggu terakhir, pemerintah pun langsung turun tangan untuk merespon tuntutan massa demonstran.
Demonstrasi tersebut digelar oleh korban banjir. Setidaknya sudah terjadi tiga kali demonstrasi korban banjir dalam dua minggu ini. Aksi terbaru dilancarkan korban banjir pada hari Senin (6/2/2012).
Para pengungsi banjir menggelar protes karena belum menerima rumah dari pemerintah. “Kami bosan dengan kebohongan, kami ingin rumah kami. Tidak adil bila mereka (pemerintah) meminta kami harus menunggu,” kata Ingrid Seiga, seorang pengungsi.
Pada bulan November dan Desember 2010 lalu, Venezuela dilanda banjir yang disebut-sebut terburuk dalam 40 tahun terakhir. Bencana alam tersebut menyebabkan 130.000 orang Venezeula menjadi tunawisma.
Saat itu, Presiden Chavez langsung turun tangan dengan membuka pintu istana bagi para pengungsi banjir. Istana Miraflores, yang dibangun pada tahun 1880, menjadi tempat pengungsian.
Selain itu, pemerintah Venezuela juga bergerak cepat untuk membangun perumahan massal, yang memprioritaskan para korban banjir. Venezuela berencana membangun 3 juta rumah hingga tahun 2019.
Pada tahun 2011 lalu, pemerintah Venezuela berhasil membangun 150.000 rumah. Sedangkan pada tahun 2012 ini direncanakan terbangun 200.000 ribu rumah baru, dimana keluarga pengungsi banjir akan dijadikan prioritas.
Respon Pemerintah
Merespon aksi protes para korban banjir, pemerintah langsung bertindak cepat. Pemerintah Venezuela langsung mengundang kelompok-kelompok pengungsi dan mengumumka langkah-langkah yang akan diambil.
Wakil Presiden Venezuela, Elias Juau, mengaku telah menugaskan Komisi Eksekutif Perumahan untuk menginformasikan kepada korban banjir perihal desain dan pemastian tanggal kapan rumah itu selesai.
Wapres Elias Juau juga menegaskan ulang komitmen pemerintah untuk menyediakan rumah layak kepada para pengungsi banjir. “Kami tahu tidak mudah tinggal di pengungsian. Kami telah berupaya sekuat tenaga memastikan kondisi kehidupan dasar dan kesejahteraan. Kami tahu banyak keluarga menunggu solusi defenitif, yakni jaminan rumah, tetapi kami juga meminta kesabaran dan kesadarannya,” kata  Elias Juau.
Menteri Kehakiman dan Dalam Negeri, Tareck El Aissami, mengaku telah menemui para keluarga pengungsi yang menggelar protes. Sang Menteri mengaku sudah mencapai kesepakatan dengan para pengungsi. Pihaknya akan menyusun rencana mengenai pengiriman tim observasi untuk memastikan proyek konstruksi itu selesai pada waktunya.
RAYMOND SAMUEL/ Venezuela Analysis