Sabtu, 28 Januari 2012

Bantengan, Kesenian Kaum Nasionalis


Seni Bantengan
Personifikasi  banteng  sebagai simbol kekuatan rakyat Indonesia  dalam  melawan kolonialisme sudah  dinyatakan oleh  Bung  Karno dalam tulisannya, Mencapai  Indonesia Merdeka. Melalui karyanya tersebut, Bung Karno mengatakan kemenangan perjuangan melawan kolonialisme di dunia akan terwujud bilamana telah tercapai persatuan antara Singa Sphinx dari Mesir, liong barongsai dari Tiongkok, Lembu Nandi dari India, dan Banteng dari Indonesia. Hal inilah pula yang mendasari penggunaan simbol Banteng oleh partai atau organisasi politik yang mengakui ajaran-ajaran  Bung Karno seperti Marhaenisme dan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi politik mereka. 

Simbolisasi kekuatan rakyat Indonesia dalam wujud hewan banteng juga muncul dalam bidang kesenian. Kesenian tersebut adalah seni Bantengan yang berasal dari Jawa Timur. Seni bantengan dijadikan sebagai sarana perlawanan rakyat pribumi di daerah Jawa Timur terhadap kolonialisme Belanda.
Banteng Versus Harimau
Sebagaimana beberapa seni pertunjukkan yang dimiliki masyarakat dari berbagai daerah di nusantara, bantengan juga dirancang untuk mempropagandakan semangat perjuangan rakyat yang ketika itu sedang ditindas oleh pihak kolonial. Bantengan dipertunjukkan dengan maksud agar masyarakat paham bahwa kesengsaraan yang mereka alami merupakan dampak dari bercokolnya penjajah di tanah air mereka. Propaganda perlawanan tampak pada cerita yang  ditampilkan. Dalam seni Bantengan terdapat satu tarian yang berkisah tentang  pertarungan antara banteng melawan harimau.
Harimau merupakan simbolisasi dari kaum penjajah yang menebar ketakutan dan keangkara murkaan. Sementara Banteng adalah perlambang masyarakat pribumi. Ada pula satu hewan  lain yang menjadi lakon cerita dari seni Bantengan, yakni kera. Kera menjadi gambaran dari kalangan masyarakat  pribumi yang memilih untuk menjadi antek penjajah atau komprador.
Pertunjukkan berusaha menggambarkan bagaimana pertarungan antara banteng dengan harimau yang didukung kera itu berakhir dengan kemenangan banteng. Itulah simbolisasi dari kemenangan rakyat atas penjajah Belanda. Begitulah simbolisasi perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dalam seni Bantengan.
Setelah memasuki masa kemerdekaan, seni bantengan masih tetap eksis sebagai seni pertunjukkan yang digemari rakyat di tanah Jawa. Sebagaimana dimasa kolonial dahulu, seni Bantengan menjadi bagian dari kesenian rakyat untuk menyampaikan pesan atau nilai-nilai budaya, agama, bahkan politik tertentu.
Ya, sebagaimana kesenian rakyat lainnya, seni bantengan pada masa Orde Lama telah menjadi bagian dari  kekuatan politik yang berkompetisi memenangkan dukungan rakyat ketika itu. Persaingan politik yang keras sebagai dampak dari penerapan sistem liberal tahun 1950-an yang kemudian berlanjut pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1960-an turut menyeret seni Bantengan kedalam pusaran arus persaingan tersebut. Seni Bantengan tidak terlepas dari polarisasi politik di tanah Jawa yang berpusat pada tiga kutub, yakni nasionalis-abangan (PNI), Islam-santri (NU) serta komunis (PKI).
Seni Bantengan dianggap sebagai seni milik kaum nasionalis pada masa itu. Hal ini karena adanya kesamaan simbol antara kesenian tersebut dengan lambang Partai Nasional Indonesia yang menjadi wadah politik mereka. Sementara seni populer lain seperti jaran kepang, ludruk dan reog diidentifikasi sebagai seni milik kaum komunis (PKI). Kaum santri pun tidak mau ketinggalan dalam rivalitas ini. Mereka mengusung seni yang berhubungan dengan tradisi Islam Jawa serta kultur  pesantren seperti pencak silat serta marawis.
Kompetisi politik yang merambah dunia seni itu diakhiri dengan tragedi politik tahun 1965 yang menghantam kelompok komunis atau kiri serta sebagian nasionalis  loyalis Bung Karno. Seni Bantengan yang memang telah diasosiasikan sebagai seni kaum nasionalis terkena dampak dari penghacuran secara sistematis oleh rezim Orde Baru. Banyak kelompok seni Bantengan di Jawa Timur dibubarkkan paksa karena stigma sebagai kelompok seni yang berpihak pada PKI. Begitupun para seniman Bantengan yang  dituduh komunis, padahal faktanya Bantengan lebih sering dikaitkan dengan kaum nasionalis PNI dimasa lalu.
Akibat dari pemberangusan tersebut, seni Bantengan mengalami kehancuran eksistensi selama puluhan tahun. Baru pada dekade 1990-an, seni Bantengan bangkit kembali sebagai  seni pertunjukkan yang berusaha membersihkan diri dari pengaruh konflik politik dimasa lalu.
Bantengan di era Neo-Liberal
Simbolisasi perlawanan rakyat pribumi pada kaum kolonial seperti tergambar dalam tarian pertarungan  banteng melawan harimau  dapat dijadikan ‘senjata’ bagi  perlawanan rakyat terhadap sistem neo-liberalisme. Banteng Indonesia hingga kini  masih bergelut dalam kubangan penderitaan akibat penindasan kaum penjajah yang kini berwujud para pemilik modal multinasional serta lembaga keuangan global. Sementara para pejabat pemerintahan yang berkuasa kini dapat diibaratkan sebagai kera yang memposisikan dirinya sebagai ‘abdi setia’ para pemiliki modal internasional.
Memang, kini rakyat Indonesia yang disimbolisasikan dengan banteng oleh Bung Karno belumlah dapat menunjukkan kekuatan dirinya dihadapan sang ‘harimau’ dan kera yang menjadi abdinya. Namun, apabila sang Banteng telah bangun dari tidurnya dan mengakumulasi tenaga untuk melawan harimau, maka peluang untuk menang akan ada. Dan seni Bantengan dapat digunakan sebagai ‘alarm’ untuk memberikan tanda waktu bahwa sudah saatnya bagi sang banteng untuk bangun dan melawan harimau.
*) Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Alumnus Antropologi Universitas Padjajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar