Sabtu, 28 Januari 2012

Bantengan, Kesenian Kaum Nasionalis


Seni Bantengan
Personifikasi  banteng  sebagai simbol kekuatan rakyat Indonesia  dalam  melawan kolonialisme sudah  dinyatakan oleh  Bung  Karno dalam tulisannya, Mencapai  Indonesia Merdeka. Melalui karyanya tersebut, Bung Karno mengatakan kemenangan perjuangan melawan kolonialisme di dunia akan terwujud bilamana telah tercapai persatuan antara Singa Sphinx dari Mesir, liong barongsai dari Tiongkok, Lembu Nandi dari India, dan Banteng dari Indonesia. Hal inilah pula yang mendasari penggunaan simbol Banteng oleh partai atau organisasi politik yang mengakui ajaran-ajaran  Bung Karno seperti Marhaenisme dan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi politik mereka. 

Simbolisasi kekuatan rakyat Indonesia dalam wujud hewan banteng juga muncul dalam bidang kesenian. Kesenian tersebut adalah seni Bantengan yang berasal dari Jawa Timur. Seni bantengan dijadikan sebagai sarana perlawanan rakyat pribumi di daerah Jawa Timur terhadap kolonialisme Belanda.
Banteng Versus Harimau
Sebagaimana beberapa seni pertunjukkan yang dimiliki masyarakat dari berbagai daerah di nusantara, bantengan juga dirancang untuk mempropagandakan semangat perjuangan rakyat yang ketika itu sedang ditindas oleh pihak kolonial. Bantengan dipertunjukkan dengan maksud agar masyarakat paham bahwa kesengsaraan yang mereka alami merupakan dampak dari bercokolnya penjajah di tanah air mereka. Propaganda perlawanan tampak pada cerita yang  ditampilkan. Dalam seni Bantengan terdapat satu tarian yang berkisah tentang  pertarungan antara banteng melawan harimau.
Harimau merupakan simbolisasi dari kaum penjajah yang menebar ketakutan dan keangkara murkaan. Sementara Banteng adalah perlambang masyarakat pribumi. Ada pula satu hewan  lain yang menjadi lakon cerita dari seni Bantengan, yakni kera. Kera menjadi gambaran dari kalangan masyarakat  pribumi yang memilih untuk menjadi antek penjajah atau komprador.
Pertunjukkan berusaha menggambarkan bagaimana pertarungan antara banteng dengan harimau yang didukung kera itu berakhir dengan kemenangan banteng. Itulah simbolisasi dari kemenangan rakyat atas penjajah Belanda. Begitulah simbolisasi perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dalam seni Bantengan.
Setelah memasuki masa kemerdekaan, seni bantengan masih tetap eksis sebagai seni pertunjukkan yang digemari rakyat di tanah Jawa. Sebagaimana dimasa kolonial dahulu, seni Bantengan menjadi bagian dari kesenian rakyat untuk menyampaikan pesan atau nilai-nilai budaya, agama, bahkan politik tertentu.
Ya, sebagaimana kesenian rakyat lainnya, seni bantengan pada masa Orde Lama telah menjadi bagian dari  kekuatan politik yang berkompetisi memenangkan dukungan rakyat ketika itu. Persaingan politik yang keras sebagai dampak dari penerapan sistem liberal tahun 1950-an yang kemudian berlanjut pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1960-an turut menyeret seni Bantengan kedalam pusaran arus persaingan tersebut. Seni Bantengan tidak terlepas dari polarisasi politik di tanah Jawa yang berpusat pada tiga kutub, yakni nasionalis-abangan (PNI), Islam-santri (NU) serta komunis (PKI).
Seni Bantengan dianggap sebagai seni milik kaum nasionalis pada masa itu. Hal ini karena adanya kesamaan simbol antara kesenian tersebut dengan lambang Partai Nasional Indonesia yang menjadi wadah politik mereka. Sementara seni populer lain seperti jaran kepang, ludruk dan reog diidentifikasi sebagai seni milik kaum komunis (PKI). Kaum santri pun tidak mau ketinggalan dalam rivalitas ini. Mereka mengusung seni yang berhubungan dengan tradisi Islam Jawa serta kultur  pesantren seperti pencak silat serta marawis.
Kompetisi politik yang merambah dunia seni itu diakhiri dengan tragedi politik tahun 1965 yang menghantam kelompok komunis atau kiri serta sebagian nasionalis  loyalis Bung Karno. Seni Bantengan yang memang telah diasosiasikan sebagai seni kaum nasionalis terkena dampak dari penghacuran secara sistematis oleh rezim Orde Baru. Banyak kelompok seni Bantengan di Jawa Timur dibubarkkan paksa karena stigma sebagai kelompok seni yang berpihak pada PKI. Begitupun para seniman Bantengan yang  dituduh komunis, padahal faktanya Bantengan lebih sering dikaitkan dengan kaum nasionalis PNI dimasa lalu.
Akibat dari pemberangusan tersebut, seni Bantengan mengalami kehancuran eksistensi selama puluhan tahun. Baru pada dekade 1990-an, seni Bantengan bangkit kembali sebagai  seni pertunjukkan yang berusaha membersihkan diri dari pengaruh konflik politik dimasa lalu.
Bantengan di era Neo-Liberal
Simbolisasi perlawanan rakyat pribumi pada kaum kolonial seperti tergambar dalam tarian pertarungan  banteng melawan harimau  dapat dijadikan ‘senjata’ bagi  perlawanan rakyat terhadap sistem neo-liberalisme. Banteng Indonesia hingga kini  masih bergelut dalam kubangan penderitaan akibat penindasan kaum penjajah yang kini berwujud para pemilik modal multinasional serta lembaga keuangan global. Sementara para pejabat pemerintahan yang berkuasa kini dapat diibaratkan sebagai kera yang memposisikan dirinya sebagai ‘abdi setia’ para pemiliki modal internasional.
Memang, kini rakyat Indonesia yang disimbolisasikan dengan banteng oleh Bung Karno belumlah dapat menunjukkan kekuatan dirinya dihadapan sang ‘harimau’ dan kera yang menjadi abdinya. Namun, apabila sang Banteng telah bangun dari tidurnya dan mengakumulasi tenaga untuk melawan harimau, maka peluang untuk menang akan ada. Dan seni Bantengan dapat digunakan sebagai ‘alarm’ untuk memberikan tanda waktu bahwa sudah saatnya bagi sang banteng untuk bangun dan melawan harimau.
*) Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Alumnus Antropologi Universitas Padjajaran.

Kamis, 26 Januari 2012

Kembali Ke Sosio-Demokrasi


demokrasi
Sudah 45 hari petani menggelar aksi pendudukan di depan gedung DPR. Dalam penantian yang cukup panjang di depan gedung rakyat itu, suara kaum tani tak juga menyentuh keberpihakan politik para anggota parlemen. Bahkan, beberapa minggu lalu, DPR meminta bantuan polisi untuk membubarkan aksi kaum tani. 
Di tempat yang lain, di depan kantor Mendagri, ratusan warga Tanah Merah juga menggelar aksi pendudukan. Mereka hanya menuntut hak mereka sebagai warga negara: dokumen kependudukan. Tetapi Mendagri, bahkan Presiden yang berkantor beberapa meter dari tenda warga Tanah Merah, sama sekali tidak tergerak hatinya oleh tuntutan rakyat.
Dalam waktu bersama, rakyat di Bima, Nusa Tenggara Barat, terus menggelorakan penentangan terhadap kehadiran perusahaan tambang. Di sana, aksi pendudukan dan blokade hampir terjadi setiap hari. Entah mengapa, pemerintah daerah tidak juga mendengar protes rakyat itu.
Inikah yang dalam jaman sekarang disebut demokrasi? Sebuah demokrasi yang  hanya diukur dari seberapa rutin pemilu dilaksanakan dan bagaimana prosedurnya dijalankan. Tetapi soal-soal yang lebih mendasar, seperti kesejahteraan rakyat banyak, hampir tidak terbahaskan dalam perdebatan demokrasi sekarang.
Demokrasi sekarang diwarnai perdebatan yang begitu riuh. Tetapi perdebatan-perdebatan itu sangat jauh dari kebutuhan rakyat. Apa yang terjadi di luar gedung parlemen, seperti rakyat yang kehilangan pekerjaan, menganggur, kesulitan mendapatkan pendidikan, dan lain-lain, tidak pernah masuk agenda perdebatan anggota parlemen yang terhormat.
Demokrasi sekarang sangat unik: ketika mayoritas rakyat menginginkan A, maka mayoritas anggota parlemen justru memutuskan B. Ketika menjelang pemilu, para politisi itu berlomba-lomba merebut hati rakyat dengan berbagai cara: bagi-bagi sembako, perbaiki jalan, masuk ke kampung-kampung kumuh, dan lain-lain. Tapi, begitu mereka terpilih, mereka akan segera lupa dengan bau keringat rakyat.
Padahal, 80 tahun yang lalu, para pendiri bangsa kita sudah menolak bentuk demokrasi yang macam begini. Demokrasi parlementer ini, yang diimpor atau dipaksakan dari negeri barat sana, hanya menjamin kesetaraan rakyat di kotak suara saja, tetapi tidak demikian di lapangan kehidupan yang lebih luas: ekonomi, sosial, dan politik yang lebih luas.
Demokrasi semacam ini hanya menjadikan rakyat jelata—meminjam istilah Bung Karno—‘sebagai perkakasnya klas berkuasa saja’: rakyat hanya diperlukan suaranya dalam pemilu, tetapi jeritannya—sekalipun disuarakan dengan keras—tidak akan didengar oleh para penguasa itu.
Bung Hatta dalam tulisan “Ke Arah Indonesia Merdeka” dengan tegas mengatakan, demokrasi barat yang dilahirkan oleh revolusi Perancis tidak membawa kemerdekaan bagi rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme. Jangan heran, di jaman demokrasi sekarang ini, anggota parlemen lebih tunduk kepada kekuasaan pemilik modal.
Karena itu, para pendiri bangsa kita mengajukan konsep demokrasi sendiri. Dalam fikiran Bung Karno, misalnya, demokrasi dianggap sebagai alat untuk mencapai cita-cita bersama. Dengan demikian, alat yang bernama demokrasi ini harus sanggup berdiri di tengah-tengah kepentingan rakyat banyak. Konsep tersebut, dengan digagas diatas jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, bertujuan untuk menciptakan kesetaraan bagi rakyat di segala lapangan kehidupan: masyarakat sama rata, sama rasa.
Salah satunya adalah konsep Bung Karno tentang sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang memihak, yaitu pada massa rakyat. Sosio-demokrasi bercita-cita menghapuskan sistem yang menciptakan kepincangan dalam masyarakat: imperialisme dan kapitalisme. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat …….. Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi”. (Sukarno, 1932)
Sayang sekali, 65 tahun Indonesia Merdeka, konsep sosio-demokrasi itu tidak pernah bisa dijalankan. Pasalnya, sebagian besar elit yang memegang tampuk kekuasaan lebih tergiur dengan model demokrasi barat. Maklum, dengan konsep demokrasi barat itu, yang secara terang membuka jalan bagi berkuasanya kapitalisme, sangat sejalan dengan kepentingan klas mereka (klas pemilik modal dan elit politik komprador).
Model demokrasi borjuis itu harus kita buang ke tong sampah. Selanjutnya, jika kita ingin berjuang untuk cita-cita nasional kita, yakni masyarakat adil dan makmur, maka sudah saatnya kembali pada demokrasi temuan pendiri bangsa: Sosio-Demokrasi!

Nikaragua Bagikan Peralatan Sekolah Gratis Untuk Pelajar


Para pelajar di Nikaragua mendapat bantuan peralatan gratis dari pemerintahnya. Bantuan itu berupa sepatu, tas rangsel, dan lain-lain.
MANAGUA: Pemerintah revolusioner di Nikaragua membuat gebrakan besar untuk memajukan pendidikan nasionalnya. Di mulai minggu ini, pemerintah Nikaragua membagikan perlengkapan sekolah kepada keluarga miskin. 
Perlengkapan sekolah yang dibagikan, seperti sepatu, tas ransel, dan perlengkapan sekolah lainnya. Pada tahap pertama, sedikitnya 250 ribu ransel dibagikan kepada anak-anak dari keluarga berpendapatan menengah ke bawah.
Para pemuda Sandinista, sayap pemuda dari partai Sandinista, turun ke kampung-kampung dan mendatangi rumah-rumah rakyat. Mereka membagikan perlengkapan sekolah yang diperlukan.
Menurut Menteri Komunikasi dan Kewarganegaraan Nikaragua, Rosario Murillo, program ini bertujuan untuk memastikan seluruh rakyat Bolivia bisa mengakses pendidikan secara universal.
“Kami, bersama berbagai organisasi sosial dan pemuda, berusaha memastikan seluruh anak-anak bisa masuk sekolah. Tidak hanya itu, kami juga ingin memastikan mereka bisa belajar secara bermartabat,” katanya.
Selain membagikan peralatan sekolah gratis, pemerintah Nikaragua juga mendorong organisasi dan federasi mahasiswa untuk bergabung dalam program belajar penguatan kepada murid yang gagal tes di ujian akhir tahun.
Selain program di bidang pendidikan, pemerintahan Daniel Ortega di Nikaragua juga menjalankan program sosial lain seperti program pemberantasan kelaparan (zero hunger), program perumahan gratis, dan program perbaikan jalan.
RAYMOND SAMUEL

Selasa, 24 Januari 2012

Bung Karno Dan Kenangan Di Ende


Bung Karno dan Ende
Bung Karno dan Ende tidak bisa dipisahkan. Ya, pemimpin revolusi Indonesia itu pernah “dibuang” 5 tahun di pulau tersebut. Tepatnya, dari 1934 hingga 1938. Kenangan tentang Bung Karno juga masih membekas di pulau itu.
Saat dibuang ke pulau bunga itu, jumlah penduduknya baru 5000-an orang. Sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Sisanya adalah petani kelapa dan petani bisa. Jumlah pegawai bisa dihitung jari.
Bung Karno dan keluarganya di tempatkan di sebuah kampung bernama Ambugaga. Di kampung yang cukup terpencil itu, Bung Karno menempati sebuah rumah sederhana berukuran sekitar 12 X 9 meter. Rumah itu hanya memiliki dua kamar tidur.
Baru sampai di Ende, Bung Karno kehilangan mertuanya. Ibu Amsi–nama mertuanya– meninggal di pangkuan Bung Karno. Di tengah keterasingan, juga belum akrab dengan orang-orang sekitar, Bung Karno sendiri yang mengantar mertuanya itu ke kuburan dan menguburkannya.
Awalnya, Bung Karno adalah manusia asing di pulau itu. Karena provokasi Belanda, banyak penduduk setempat yang takut mendekati Bung Karno. Bagi Bung Karno, terasing di tengah massa adalah hukuman terberat baginya.
Tetapi Bung Karno bukan tipe orang yang mudah patah semangat. Ia segera menyadari bahwa kawannya adalah rakyat jelata. Bung Karno membentuk masyarakatnya sendiri, dengan para pemetik kelapa, sopir, dan pemuda menganggur. Orang pertama yang dikenal Bung Karno adalah seorang nelayan bernama Kota.
Bung Karno mengajak Kota kerumahnya. Tapi Kota tak datang sendiri, tapi mengajak temannya, Darham, seorang tukang jahit. Setelah dikunjungi, Bung Karno pun membalas kunjungan dua kawan barunya itu.
Di Ende, untuk membunuh rasa sepi setiap harinya, Bung Karno menulis sandiwara. Ada 12 judul sandiwara yang dibuatnya dari tahun 1934 hingga 1938. Karya pertamanya, Dokter Setan, terinspirasi oleh Frankenstein. Karyanya yang lain adalah Rendo, Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, KutKutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945.
Selain itu, untuk mementaskan karyanya, ia membentuk kelompok sandiwara bernama “Kalimutu”, nama danau dengan warna indah di Flores. Bung Karno menjadi sutradaranya. Para pemainnya adalah penduduk dan anak-anak setempat, yang terkadang belum bisa berbahasa Indonesia.
Setiap malam, di bawah pohong kayu, ditemani sinar rembulan, kelompok sandiwara asuhan Bung Karno ini berlatih. Sebagian besar anggotanya adalah laki-laki. Maklum, selain terkungkung oleh aturan, sebagian perempuan itu takut dengan Bung Karno. Karena, hampir tidak ada lakon perempuan dalam sandiwaranya. Kalaupun ada lakon perempuan, maka itu dimainkan oleh laki-laki.
Untuk tempat pentas, Bung Karno menyewa sebuah gudang gereja. Karcis untuk pementasan dijual sendiri oleh Bung Karno. Setiap pementasan membutuhkan waktu tiga hari dan dihadiri 500-an penonton. Orang-orang belanda pun terkadang beli karcis dan ikut menonton pementasan.
Untuk keperluan dekorasi panggung, Bung Karno membuatnya sendiri. Ia kadang melukis gambar hutan atau istana sebagai latar-panggung. Ia pula yang membuat iklan-iklan pentas dengan menggunakan kertas.
Setiap selesai pementasan, Bung Karno membawa anggota “kru”-nya untuk makan bersama di rumahnya. Semua itu demi menyenangkan anggotanya. Keuntungan dari sandiwara ini dipakai untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Dari pementasan inilah Bung Karno berkenalan dengan Riwu Ga, seorang pemuda Ende berusia 14 tahun, yang rela berjalan kaki 3 kilometer hanya untuk menonton pertunjukan Bung Karno. Dengan membawa pisang, Riwu Ga bertanya kepada Soekarno tentang cara memotong kayu.
Riwu Ga punya jasa besar saat proklamasi kemerdekaan di Jakarta. Bung Karno menugaskan Riwu Ga dan Sarwoko untuk mengabarkan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia di Jakarta. “Wo, kini giliran angalai (anda). Sebarkan pada penduduk Jakarta bahwa kita sudah merdeka. Bawa bendera!” kata Bung Karno. Dari Pegangsaan Timur, Riwu Ga bersaman Sarwoko sambil menumpangi jip terbuka bergerak ke Tanah Abang, Pasar Baru, Jatinegara, Pasar Ikan…..dan seluruh sudut Jakarta. Ia berteriak: Indonesia sudah merdeka!”
Bung Karno juga berkawan akrab dengan kelasi-kelasi kapal, khususnya yang orang-orang Indonesia. Hampir semua kelasi-kelasi itu bersimpati pada perjuangannya. Suatu hari, ketika Bung Karno membutuhkan kelambu, maka kelasi menyelundupkan satu kelambu untuknya.
Suatu hari, seorang stokar kapal mengajak Bung Karno “melarikan diri”. “Bung, katakanlah kepada kami,” kata stokar itu, “kami akan menyelundupkan Bung Karno dan tidak akan ada yang tahu.”
Bung Karno menolak dengan sopan ajakan berharga itu. Menurutnya, melarikan diri adalah tindakan sia-sia bagi seorang yang terbiasa bekerja legal. Kalaupun berhasil melarikan diri, Bung Karno tentu gampang diciduk. Maklum, setiap ia tampil di tengah pergerakan, maka pihak kolonial akan segera menangkapnya.
Bung Karno berfikiran, jika dirinya tetap bertahan di pengasingan, setidaknya kaum marhaen tahu bagaimana pemimpinnya menderita demi cita-cita. Ia rela menjadi lambang dari pengorbanan rakyat untuk kemerdekaan.
Selama pembuangan di Ende, Bung Karno sering menerima kiriman makanan, pakaian, dan uang dari kawan-kawanya di Jawa. Tapi, Bung Karno tidak memakai semua kiriman-kiriman itu. Sebagian besar kiriman itu dikirimkan kembali ke kawan-kawannya yang lebih menderita di Digul, Papua. Bung Karno adalah seorang pemimpin yang tak pernah surut semangat perkawanannya.
Begitulah, Ende yang semula dianggap penjara bagi Bung Karno, justru menjadi “rumah pergerakan” Bung Karno. Ende sangat melekat di hati Bung Karno. Karenanya, lima tahun setelah Indonesia merdeka, tepatnya 1950, Bung Karno menyempatkan diri untuk bernostalgia di Ende.
IRA KUSUMAH

Partai Nasional Indonesia (12)


Pidato Indonesia Menggugat
Oleh : Ir. Soekarno
Soekarno dan Wartawan
Nasionalisme nyawanya pembentukan kekuasaan
PNI oleh karenanya, tak berhenti-hentinya menyubur-nyuburkan semangat rakyat itu. Semangat tiap-tiap rakyat yang disengsarakan oleh suatu keadaan, baik rakyat proletar di negeri-negeri industri, maupun rakyat di tanah-tanah jajahan, adalah semangat ingin merdeka: Nah, kami menyuburkan semangat ingin merdeka itu pada rakyat indonesia. Kami menyuburkannya tidak terutama dengan keinsafan kelas sebagai pergerakan kaum buruh umumnya, tetapi terutama dengan keinsafan bangsa, dengan keinsafan nasionaliteit, dengan nasionalisme. Sebab tiap-tiap rakyat yang dikuasai oleh bangsa lain, tiap-tiap rakyat jajahan, tiap-tiap rakyat yang saban hari, saban jam, merasakan imperialisme bangsa lain, — tiap-tiap rakyat yang diperintahi secara jajahan demikian itu, adalah berbudi akal nasionalistis. Rasa pertentangan, yang di Eropa atau di Amerika, berwujud rasa pertentangan kelas, oleh karena kaum yang berkuasa dan kaum yang dikuasai di sana terdiri dari satu bangsa, satu kulit, satu rasa, — rasa pertentangan itu di suatu negeri jajahan adalah menyatu dengan pertentangan nasionalistis. Bukan terutama rasa pertentangan si buruh terhadap si kapilistis, bukan terutama rasa pertentangan kelas yang kita alami dalam suatu negeri jajahan, tetapi, rasa pertentangan si hitam terhadap si putih, si Timur terhadap si Barat, si terjajah terhadap si penjajah.
PNI mengerti akan hal ini. PNI mengerti, bahwa di dalam kesadaran nasioanlistis, di dalam nasionalisme inilah letaknya daya, yang nanti bisa membuka kenikmatan hari kemudian. PNI oleh karenanya, menyubur-nyuburkan dan memelihara nasionalisme itu, dari nasionalisme yang kurang hidup dibikin jadi nasionalisme yang hidup, dari nasionalisme yang instinktif jadi nasionalisme yang sadar, dari nasionalisme yang statis jadi nasionalisme yang dinamis, – pendek kata: dari nasionalisme  yang negatif jadi nasionalisme yang positif. Dibikin jadi nasionalisme positif, Tuan-tuan Hakim, dibikin nasionalisme positif, sebab dengan nasionalisme yang hanya rasa protes atau rasa dendam saja terhadap imperialisme, kami belumlah tertolong. Kami punya nasionalisme haruslah suatu nasionalisme yang positif, suatu nasionalisme yang positif, suatu nasionalisme yang mencipta, suatu nasionalisme yang “mendirikan”, suatu nasionalisme yang “mencipta dan memuja”. Dengan nasionalisme yang positif itu maka rakyat Indonesia bisa mendirikan syarat-syarat hidup merdeka yang bersifat kebendaan dan kebatinan. Dengan sekarang sudah menghidup-hidupkan nasionalisme yang positif itu, maka ia bisa menjaga, jangan sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang benci kepada bangsa lain, yakni jangan sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang chauvinistis atau jingo-nasionalisme yang agresif, sebagai yang kita alami jahatnya dalam perang dunia yang lalu, — suatu jingo-nasionalisme “of gain and loss” – sebagai kata C.R. Das – yang agresif, yakni suatu jingo-nasionalisme yang bersemboyan “untung atau rugi” dan menyerang kian kemari. Dengan nasionalisme yang positif itu, maka rakyat Indonesia merasai kebenaran kalimat-kalimat Arabindo Chose, yang mengatakan bahwa nasionalisme yang demikian itu adalah sebenarnya Allah sendiri.
Dengan nasionalisme yang demikian itu, maka rakyat kami tentulah melihat hari kemudian itu sebagai fajar yang berseri-seri dan terang cuaca, tentulah hatinya penuh dengan pengharapan-pengharapan yang menghidupkan. Tidakkah lagi hari kemudian itu dipandang olehnya sebagai malam yang gelap-gulita, tidaklah lagi hatinya penuh dengan syak dan dendam belaka. Dengan nasionalisme yang demikian itu rakyat kami akan rida dan suka hati menjalankan segala pengorbanan untuk membeli hari kemudian yang indah yang menimbulkan hasrat itu. Pendek kata: dengan nasionalisme yang demikian itu rakyat kami akan bernyawa, akan hidup, dan tidak laksana bangkai sebagai sekarang!
“Oleh karena rasa kebangsaanlah,” begitu pemimpin Mesir yang termashur, Mustafa Kamil, menggambarkan nasionalisme positif itu:
    “Oleh karena rasa kebangsaanlah, maka bangsa-bangsa yang terkebelakang lekas mencapai peradaban, kebesaran dari kekuasaan. Rasa kebangsaanlah yang menjadi darah yang mengalir dalam urat-urat bangsa-bangsa yang kuat dan rasa kebangsaanlah yang memberi hidup kepada tiap-tiap manusia yang hidup”.[1]
Zonder nasionalisme tiada kemajuan, zonder nasionalisme tiada bangsa.
“Nasionalisme adalah-milik yang berharga yang memberi kepada suatu negara tenaga untuk mengejar kemajuan dan memberi kepada suatu bangsa  tenaga untuk mempertahankan hidupnya,”[2] begitulah Dr. Sun Yat Sen berkata.

[1] Mustafa Kamil dalam “The New World of Islam” terbitan Lothrop Stoddard, hal. 151.
[2] Sun Yat Sen dalam bukunya “San Min Chu I” (telah ada terjemahan bahasa Indonesia).

Senin, 23 Januari 2012

Bung Karno tentang Pancasila


Saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekadar memformuleer perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata, yang saya namakan “Pancasila”. Saya tidak merasa membuat Pancasila. Dan salah sekali jika ada orang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno, bahwa Pancasila itu buatan manusia. Saya tidak membuatnya, saya tidak menciptakannya. Jadi apakah Pancasila buatan Tuhan, itu lain pertanyaan.

Aku bertanya. Aku melihat daun daripada pohon itu hijau. Nyata hidau itu bukan buatanku, bukan buatan manusia. Apakah warna hijau daripada daun itu dus buatan Tuhan? Terserah kepada saudara-saudara untuk menjawabnya. Aku sekedar konstateren, menetapkan dengan kata-kata satu keadaan.
Di dalam salah satu amanat yang saya ucapkan dihadapan resepsi para penderita cacat beberapa pekan yang lalu, saya berkata bahwa saya sekedar menggali di dalam bumi Indonesia dan  mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita ini dengan cara yang seindah-indahnya. Aku bukan pembuat berlian ini: aku bukan pencipta dari berlian-berlian ini, sebagaimana aku bukan pembuat daun yang hijau itu. Padahal aku menemukan itu ada daun hijau”. Jikalau ada seseorang Saudara berkata bahwa Pancasila adalah buatan manusia, aku sekedar menjawab: “Aku tidak merasa membuat Pancasila  itu; tidak merasa menciptakan Pancasila itu”.

Aku memang manusia. Manusia dengan segala kedaifan dari pada manusia. Malahan manusia jang tidak lebih daripada saudara-saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekedar memformuleerkan adanya beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang kunamakan “Pancasila”. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada hidup lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai mempersatu daripada bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletakan kepada daya pemersatu daripada Pancasila itu.
Di belakangku terbentang peta Indonesia, yang terdiri dari berpuluh-puluh pulau yang besar-besar, beratus-ratus, beribu-ribu bahkan berpuluh-puluh ribu pulau-pulau yang kecil-kecil. Di atas kepulauan yang berpuluh-puluh ribu ini adalah hidup satu bangsa 80 juta jumlahnya. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna adat istiadat. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara berfikir. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara mencari hidup. Satu bangsa yang beraneka warna agamanya.
Bangsa jang berdiam di atas puluhan ribu pulau antara Sabang dan Merauke ini, harus kita persatukan bilamana bangsa ini ingin tergabung di dalam satu Negara jang kuat. Maksud kita yang pertama sedjak daripada zaman kita melahirkan gerakan nasional ialah mempersatukan bangsa yang 80 juta ini di dalam satu Negara yang kuat. Kuat, karena berdiri di atas kesatuan geografie, kuat pula oleh karena berdiri di atas kesatuan tekad.

Pada saat kita menghadap kemungkinan untuk mengadakan proklamasi kemerdekaan, dan alhamdulillah bagi saya pada saat itu bukan lagi kemungkinan tetapi kepastian, kita menghadapi soal bagaimana Negara hendak datang ini, kita letakan di atas dasar apa. Maka di dalam sidang daripada para pemimpin Indonesia seluruh Indonesia, difikir-fikirkan soal ini dengan cara jang sedalam-dalamnya. Di dalam sidang inilah buat pertama kali saya formuleeren apa yang kita kenal sekarang dengan perkataan “Pancasila”. Sekedar formuleren, oleh karena lima perasaan ini telah hidup berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun di dalam kalbu kita. Siapa yang memberi bangsa Indonesia akan perasaan-perasaan ini? Saya sebagai orang yang pecaya kepada Allah SWT berkata: “Sudah barang tentu yang memberikan perasaan-perasaan ini kepada bangsa Indonesia ialah Alah SWT pula”.
Sumber: Anjuranku Kepada Segenap Bangsa Indonesia

Minggu, 22 Januari 2012

Partai Nasional Indonesia (11)


Pidato Indonesia Menggugat
Oleh : Ir. Soekarno
Soekarno-rakyat
Kekuasaan semangat
Amboi! Golok, bom dan dinamit! Kami dituduh golok-golokan, bom-boman dan dinamit-dinamitan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom dan dinamit! Seperti tidak ada senjata yang lebih kuasa lagi daripada puluhan kapal perang, ratusan kapal udara, ribuan, ketian, milyunan serdadu darat! Seperti tidak ada senjata semangat lagi, yang, jikalau sudah sadar dan bangkit dan berkobar-kobar di dalam kalbu rakyat, lebih hebat kekuasaannya dari seribu bedil dan seribu meriam, ya, seribu armada laut dan seribu tentara yang lengkap alat dan lengkap senjata! Seperti kami tak mengetahui akan kekuasaan semangat rakyat yang bisa dibikin mahasakti dan mahaadigjaya itu. Orang menuduh kami mau membikin ramai-ramai dengan Mercon sumet dan mercon banting! Seperti tidak ada ilmu ketimuran lagi, yang dinyanyikan dalam buku Bagawad Gita dan yang mengajarkan kekuatan semangat itu!
    “Ketahuilah, senjata tiada menyinggung hidup;
    Api tiada membakar, tiada air membasahi,
    Tiada angus oleh angin yang panas.
    Tiada tertembusi,
    Tiada terserang, tiada terpijak dan merdeka
    Kekal abadi, di mana-mana, tetap tegak,
    tidak nampak, terucapkan tiada,
    Tiada terangkum oleh kata, pikiran, senantiasa pribadi tetap
    –Begitulah disebut jiwa!”
Tidak, PNI tidak mencari kekuasaan dalam ribut-ribut atau bom-boman atau dinamit-dinamitan, tidak pula mencari tenaga dalam sengaja melanggar undang-undang sebagai dituduhkan disini. PNI mencari kekuasaan pembentukan tenaga dalam organisasi sosial dan organisasi semangat rakyat yang sedar dan bangkit, mencari kekuasaan pembentukan tenaganya dengan lebih lagi menghidup-hidupkan dan menyusun semangat rakyat yang oleh pengaruh imperialisme turun-temurun, kemarin sudah hampir padam, tetapi kini mulai menyala lagi. PNI mengetahui, PNI insaf, PNI yakin, bahwa jika semangat rakyat itu sudah tersusun serta menyala-nyala berkobar-kobar, tidak ada satu kekuasaan duniawi yang bisa membinasakannya, PNI yakin bahwa, jika ia sudah menggenggam  senjata semangat yang sedemikian itu, ia tentu mencapai segala apa yang dimaksudkan, zonder pedang, zonder bedil, zonderbom, zonder meriam, ya, zonder “kocak-kocakan”  sengaja melanggar pasal 153 bisa dan 169 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai yang dituduhkan kepada kami dalam proses ini. Dengan senjata semangat yang demikian itu, maka ia dengan sebenar-benarnya menggenggam senjata yang mahasakti, dengan sebenar-benarnya beraji candrabirawa dan pancasona,–mahhakuasa, kekal abadi, tiada terkalahkan!
    ‘Siapa bisa merantai suatu bangsa, kalau semangatnya tak mau dirantai? Siapa bisa membinasakan sesuatu bangsa, kalau semangatnya tak mau dibinasakan?”
Begitulah sarojini Naidu, Srikandi India, berpidato tatkala membuka Kongres Nasional India yang ke-40[1] dan Mac Swiney, pendekar irlandia yang termashur itu, di dalam bukunya “Principes de la Liberte” menulis:,
    “Sebab seorang yang dirampas senjatanya, tidak bisa melawan orang banyak, satu tentara tak bisa mengalahkan tentara-tentara yang tak terpermanai banyaknya, — tapi semua tentara dari semua negara di seluruh dunia bersama-sama, tidak kuasa menundukkan satu jiwa, yang telah bertekad untuk berjuang mempertahankan hak.”[2]
Sesungguhnya, buat apa bom-boman atau dinamit-dinamitan, buat apa kocak-kocakan sengaja melanggar pasal 153 bis dan 169 – kalau kami dengan pembentukan kekuasaan organisasi semangat itu saja sudah mempunyai kepastian akan mencapai semua maksud?

[1] Sarojini Naidu (1879-1949) pejuang dan pujangga wanita India, pengikut M.K. Gandhi, dalam buku “Asia”.
[2] Mac Swiney dalam buku. “Principes de la liberte” dikutip dari “Intery, en Irlande”, hal. 40.

Sabtu, 21 Januari 2012

Apa Sebab Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila (Bagian Pertama)


Oleh : Ir. Soekarno
BK di tengah masa (1)
SAUDARA-SAUDARAKU sekalian
Saya adalah orang islam, dan saya keluarga Negara Republik Indonesia. Sebagai orang islam, saya menyampaikan salami slam kepada saudara-saudara sekalian, “assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sebagai warga Republik Indonesia, saya menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian, baik yang beragama islam, baik beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain, kepada saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional “Merdeka”!
Tahukah saudara-saudara, arti perkataan “salam” sebagai bagian daripada perkataan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu? Salam artinya damai, sejahtera. Jikalau kita menyebutkan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, berarti damai dan sejahterahlah sampai kepadamu. Dan moga-moga rahmat dan berkat Allah jatuh kepadamu. Salam ber-arti damai, sejahtera. Maka oleh karena itu, saya minta ke-pada kita sekalian untuk merenungkan benar-benar akan arti perkataan “assalamu alaikum”.
Salam—damai—sejahtera!
Marilah kita bangsa Indonesia terutama sekalian yang beragama islam hidup damai dan sejahtera satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai membahayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai gerombolan-gerombolan yang menyebutkan assalamu alaikum, akan tetapi membakar rumah-rumah rakyat.
Salam—damai—sejahtera! Rukun—bersatu! Terutama sekali dalam didalam revolusi nasional kita belum selesai ini.
Dan sebagai warganegara yang merdeka, saya tadi memekikkan pekik “Merdeka” bersama-sama dengan kamu. Kamu yang beragama islam, kamu yang beragama Kristen, kamu yang beragama Syiwa Buddha, Hindu-Bali atau agama lain. Pekik merdeka adalah pekik yang membuat rakyat Indonesia itu, walaupun jumlahnya 80 juta, menjadi bersatu tekad, memenuhi sumpahnya “sekali merdeka tetap merdeka”!
Pekik merdeka, saudara-saudara, adalah “pekik pengikat”. Dan bukan saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imprealisme—dengan tiada ikatan penjajahan sedikit pun. Maka oleh karena itu, saudara-saudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini, fase revolusi nasional belum selesai, jangan lupa kepada pekik merdeka! Tiap-tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah pekik “merdeka”!
Tatkala aku mengadakan perjalanan ke tanah suci beberapa pekan yang lalu, aku telah diminta oleh khalayak Indonesia dikota Singapura untuk mengadakan amanat kepada mereka. Ketahuilah, bahwa di Singapura itu berpuluh-puluh ribu orang Indonesia berdiam. Mereka bergembira, bahwa Presiden Republiknya lewat Singapura. Mereka menyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia itu dengan gegap-gempita, dan diminta kepada Presiden Republik Indonesia untuk memberikan amanah kepadanya. Didalam amanah itu beberapa kali dipekikkan pekik “merdeka”.
Apa lacur? Sesudah bapak meneruskan perjalanan ke Bangkok ke Rangoon, ke New Delhi, Karachi, ke Bagdad, ke Mesir, ke Negara Saudi Arabia, sesudah bapak meninggalkan kota Singapura, geger….pers imprealisme Singapura, saudara-saudara. Mereka berkata: “Presiden Soekarno kurang ajar”. Presiden Soekarno menjalankan ill-behavior, katanya. ill-behavior itu artinya tidak tau kesopanan. Apa sebabnya pers imprealisme mengatakan bapak menjalankan ill-behavior, kurang ajar? Kata mereka, toh tahu Singapura ini bukan negeri merdeka? Toh tahu, bahwa disini masih didalam kekuasaan asing, kok memekikkan pekik “merdeka”?
Tatkala bapak kembali dari tanah suci, singgah lagi di Singapura, bapak dikeroyok oleh responden-responden dan wartawan-wartawan. Mereka menanyakan kepada bapak: “Tahukah PYM Presiden, bahwa tatkala PYM Presiden meninggalkan kota Singapura ddalam perjalanan ke Mesir dan tanah suci, PYM dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill-behavior, oleh karena PYM memekikkan pekik merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia disini memekikkan pekik merdeka? Apa jawab Paduka Yang Mulia atas tuduhan itu?”
Bapak menjawab: “jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warganegara Republik Indonesia berjumpa dengan warganegara Republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia selalu memekikkan pekik “merdeka”! Jangankan di sorga, didalam neraka pun”!
Nah…saudara-saudara dan anak-anakku sekalian, jangan lupa akan pekik merdeka itu. Gegap-gempitakan tiap-tiap kali pekik merdeka itu. Apalagi sebagai bapak katakan tadi dalam fase revolusi nasional kita yang belum selesai. Dus kuulangi lagi, sebagai manusia yang beragama islam, aku menyampaikan kepadamu salam “assalamu alaikum!” sebagai warganegara Republik Indonesia, aku menyampaikan kepadamu “merdeka!”
Saudara-saudara, aku pulang dari Bali—beristirahat beberapa hari disana—diminta oleh Kongres Rakyat Jawa Timur untuk pada inti malam memberikan sedikit ceramah, wejangan, amanah, terutama sekali mengenai hal “apa sebabnya negara Republik Indonesi berdasarkan kepada Pancasila? Dan memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma.
Tadi, tatkala aku baru masuk gedung Gubernuran ini, hati kurang puas. Apa sebab? Terlalu jauh jarak rakyat dengan bung Karno. Maka oleh karena itulah saudara-saudaraku dan anak-anakku sekalian, maka bapak minta kepadamu pimpinan agar supaya saudara-saudara diberi izin lebih dekat. Sebab, saudara-saudara tahu isi hati bapak ini, isi hati Presiden, isi hati bung Karno, kalau jauh daripada rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat, rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.
Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada saudara-saudara, insya Allah saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato disini bukan sekedar sebagai Soekarno. Bukan sekedar sebagai bung Karno. Bukan sekedar sebagai pak Karno. Aku berpidato disini sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia didasarkan atasa Pancasila?
Apa sebab? Tak lain dan tak bukan ialah oleh karena aku ini Presiden Republik Indonesia disumpah atas Undang-Undang dasar kita. Saya tadi berkata, bahwa saya memenuhi permintaan Kongres Rakyat Jawa Timur dengan penuh kesenangan hati, ialah oleh karena saya ini sebagai Presiden Republik disumpah atas dasar Undang-Undang dasar kita. Disumpah harus setia kepada Undang-Undang dasar kita. Didalam Undang-Undang dasar kita, dicantumkan satu mukadimah, kata pendahuluan. Dan didalam kata pendahuluan itu dengan tegas disebutkan Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan Indonesia yang bulat, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”. Malahan bukan satu kali ini Pancasila itu disebutkan didalam Undang-Undang dasar kita. Sejak kita didalam tahun 1945 telah berkemas-kemas untuk menjadi suatu bangsa yang merdeka, sejak itu kita telah mengalami empat kali naskah.
Sebelum kita mengadakan proklamasi 17 agustus, sudah ada naskah. Kemudian pada tanggal 17 agustus, satu naskah lagi. Kemudian tatkala RIS dibentuk, satu naskah lagi. Kemudian sesudah itu, tatkala kita kembali kepada zaman Republik Indonesia Kesatuan, satu naskah lagi. Empat kali naskah, saudara-saudara. Dan didalam keempat naskah itu dengan tegas disebutkan Pancasila.
Pertama, tatkala kita didalam zaman Jepang, kita telah berkemas-kemas didalam tahun 1945 itu untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada waktu itu telah disusunlah satu naskah yang dinamakan “Charter Jakarta”. Didalam Charter Jakarta ini telah disebutkan dengan tegas lima azas yang hendak kita pakai sebagai pegangan untuk negara yang akan datang. “Ketuhanan yang maha esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.
Demikian pula tatkala kita telah memproklamirkan kemerdekaan kita pada tanggal 17 agustus 1945, dengan tegas pula keesokan harinya, saudara-saudara, kukatakan dengan Undang-Undang Dasar yang kita pakai ini. Yaitu undang-undang dasar yang kita rencanakan pada waktu zaman Jepang dibawah ancaman bayonet Jepang; kita rencanakan satu undang-undang dasar daripada negara Republik Indonesia yang kita proklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945. Dan didalam Undang-Undang Dasar itu dengan tegas dikatakan Pancasila: “Ketuhanan yang maha esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.
Tatkala berhubung dengan jalannya politik, negara Republik Indonesia Serikat dibentuk (RIS), pada waktu itu dibentuklah Undang-Undang Dasar RIS. Dan didalam mukadimah Undang-Undang Dasar RIS ini disebutkan lagi dengan tegas Pancasila.
Kita tidak senang dengan federal-federalan. Segenap rakyat akan memprotes akan adanya susunan ini. Delapan bulan susunan federal ini. Delapan bulan susunan RIS berdiri, hancur lebur RIS, berdirilah negara Republik Indonesia Kesatuan. Dan Undang-Undang Dasar yang dipakai RIS ini diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara daripada negara Republik Indonesia Kesatuan. Tetapi tidak diubah isi mukadimah yang mengandung Pancasila.
Jadi, dengan tegas, saudara-saudara, jelas! Empat kali didalam sepuluh tahun ini kita melewati empat naskah. Tiap-tiap naskah menyebutkan Pancasila. Dan tatkala aku dengan karunia Alla SWT dinobatkan menjadi Presiden, aku disumpah. Dan isi sumpah itu antara lain setia kepada Undang-Undang Dasar. Maka oleh karena itulah, saudara-saudara, rasa sebagai kewajiban jikalau diminta oleh sesuatu golongan akan keterangan tentang Pancasila, memenuhi permintaan itu.
Dan pada ini malam dengan mengucap suka syukur kehadira Allah SWT, aku berdiri dihadapan saudara-saudara. Berhadap-hadapan muka dengan kaum buruh, dengan pegawai, rakyat jelata, Pihak Angkatan Laut Republik Indonesia dan pihak tentara, dengan pihak Mobrig, pihak polisi, pihak perintis, dengan pemuda, dengan pemudi, berdiri dihadapan saudara-saudara dan anak-anak sekalian, yang telah datang membanjiri lapangan yang besar ini laksana air hujan. Aku mengucap banyak terima kasih kepadamu. Dan insya Allah, saudara-saudara, aku akan terangkan kepadamu tentang apa sebab negara Republik Indonesia didasarkan Pancasila.
Saudara-saudara. Ada yang berkata Pancasila ini hanya sementara! Yah….jikalau diambil didalam arti itu, memang Pancasila adalah sementara. Tetapi bukan saja Pancasila adalah sementara, bahkan ketentuan didalam Undang-Undang Dasar kita, bahwa Sang Merah Putih bendera kita, itupun sementara! Segala Undang-Undang Dasar kita sekarang ini adalah sementara.
Tidakkah tadi telah kukatakan, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita pakai sekarang ini, malahan disebut Undang-Undang Dasar Sementara daripada negara Republik Indonesia? Apa sebab sementara? Yah…..oleh karena akhirnya nanti yang akan menentukan segala sesuatunya ialah konstituante.
Maka itu saudara-saudara, kita akan mengadakan pemilihan umum dua kali. Pertama, pada tanggal 29 september nanti, insya Allah, untuk memilih DPR. Kemudian pada tanggal 5 desember untuk memilih konstituante adalah Badan pembentuk Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar yang tetap. Konstituante adalah pembentuk konstitusi. Konstitusi berarti Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tetap bagi negara Republik Indonesia, yang sampai sekarang ini segala-segalanya masih sementara.
Tetapi, saudara-saudara, jikalau ditanya kepadaku “Apa yang berisi kalbu bapak ini akan permohonan kepada Allah SWT? Terus terang aku berkata, jikalau saudara-saudara membelah dada bung Karno ini, permohonanku kepada Allah SWT ialah, saudara-saudara bisa membaca didalam dada bung Karno memohon kepada Allah SWT supaya negera Republik Indonesia tetap berdasarkan Pancasila.
Yah…benar, bahwa segal sesuatunya adalah sementara. Tetapi aku berkata, bahwa Sang Merah Putih adalah sementara, adalah bendera Republik Indonesia pun sementara. Dan jikalau nanti konstituante bersidang, insa Allah, Saudara-saudaraku, siang dan malam bapak memohon kepada Allah SWT agar supaya konstituante tetap menetapkan bendera Sang Merah sebagai bendera negara Indonesia.
Aku minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Sang Merah Putih ii . jangan ada satu pihak yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik Indonesia.
Tahukah saudara-saudara, bahwa warna Merah Putih ini bukan buatan Republik Indonesia? Bukan buatan kita dari zaman pergerakan nasional. Apalagi bukan buatan bung Karno, bukan buatan bung Hatta! Enam ribu tahun sudah kita mengenal akan warna Merah Putih ini. Bukan beribu tahun, bukan dua ribu tahun, bukan tiga ribu tahun, bukan empat ribu tahun, bukan enam ribu tahun! Enaaaam….ribu tahun kita telah mengenal warna Merah Putih!
Tatkala disini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islam, belum ada agama Hindu, bangsa Indonesia telah mengagungkan warna Merah Putih. Pada waktu itu kita belum mengenal Tuhan dalam cara mengenal sebagai sekarang ini. Pada waktu itu yang kita sembah adalah matahari dan bulan. Pada waktu itu kita hanya mengira, bahwa yang memberi hidup itu matahari. Siang matahari, malam bulan. Matahari merah, bulan putih. Pada waktu itu kita telah mengagungkan warna Merah Putih.
Kemudian bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam menyelami akan hidup di alam ini. Kita memperhatikan segala sesuatu didalam alam ini dan kita melihat. Oh, alam ini ada yang hidup bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada manusia dan binatang, makhluk-makhluk yang bergerak. Ada tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa bergerak. “manusia dan binatang itu darahnya merah. Tumbuh-tumbuhan darahnya putih”. Getih-getah. Cuma i diganti a. Dulu kita mengagungkan matahari dan bulan yang didalam alam Hindu dinamakan Surya Chandra. Kemudian kita mengagunkan getah-getih. Merah-Putih, saudara-saudara, itu adalah fase kedua.
Fase ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia. Mengerti, bahwa kejadian manusia ini adalah daripada perhubungan laki dan perempuan, perempuan dan laki. Orang mengerti perempuan adalah merah, laki adalah putih.
Dan itulah sebabnya maka tidak turun-temurun mengagungkan merah putih. Apa yang dinamakan “gula-kelapa”, mengagungkan bubur bang putih. Itulah sebabnya maka kita kemudian tatkala kita, mempunyai negara-negara setelah mempunyai kerajaan-kerajaan, memakai merah putih itu sebagai bendera negara. Tatkala kita mempunyai kerajaan Singosari, merah putih telah berkibar terus dirampas oleh imprealisme asing. Tetapi didalam dada kita tetap hidup kecintaan kepada merah putih.
Dan tatkala kita, mengadakan pergerakan nasional sejak tahun 1908, dengan lahirnya Budi Utomo dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP (National Indische Party), oleh ISDP oleh PKI, oleh Serikat Rakyat, oleh PPPK, oleh PBI, oleh Parindra, dan lain-lain, maka rakyat Indonesia tetap mencintai merah putih sebagai warna benderanya.
Dan tatkala kita pada tanggal 17 agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan itu, dengan resmi kita menyatakan sang merah putih adalah bendera kemerdekaan kita.
Itu semua jika dikatakan sementara, ya sementara ! sebab konstituante belum bersidang. konstituate mau mengubah warna ini?? lho, kok menurut haknya, boleh saja. Sebab konstituante itu adalah kekuasaan kita yang tertinggi. penyusun, pembentuk konstitusi. Jadi konstituante misalnya hendak menentukan warna bendera Negara Republik Indonesia bukan merah putih, yah mau dikatakan apa?
Tetapi bapak berkata, bapak memohon kepada allah swt agar supaya warna merah putih tetap menjadi warna bendera bendera republik Indonesia.
Kembali lagi kepada Indonesia. Jika dikatakan sementara, yaaa….sementara!
Lagi-lagi bapak berkata ini berkata, allah swt, allah swt. Dan bapak pun bersyukur kehadirat allah swt, bahwa cita-cita bapak yang sudah bertahun-tahun untuk haji dikabulkan oleh allah swt. Lagi-lagi, allah swt.
Saudara-saudara, jikalau aku meninggalkan dunia nanti, ini hanya tuhan mengetahui, dan tidak bisa dielakkan semua orang, jikalau ditanya oleh malaikat: hai….Soekarno, tatkala engkau hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan yang paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang paling engkau ucapkan syukur kepada allah swt? moga-moga saudara-saudara aku bisa menjawab–ya…bisa menjawab demikian tau tidaknya itu tergantung dari pada allah swt: “tatkala aku hidup didunia ini, aku telah ikut membentuk negara republik Indonesia. Aku telah ikut membentuk satu wadah bagi masyarakat Indonesia”.
Sebagai sering kukatakan saudara-saudara, negara adalah wadah. Jikalau aku diberi karunia oleh allah swt mengerjakan pekerjaan satu ini saja, allahu akbar, aku akan berterima kasih setinggi langit. Yaitu untuk pekerjaan ini saja, ikut membentuk wadah. Wadahnya, wadahnya saja yang bernama negeri ini. Didalam wadah ini ada masyarakat. Wadah yang dinamakan negara ini adalah wadah untuk masyarakat.
Membentuk wadah adalah lebih mudah daripada membentuk masyarakat. Membentuk wadah adalah sebenarnya bisa dijalankan dalam satu hari—wadah yang bernama negeri itu.
Tidaklah, saudara-saudara, dari sejarah dunia kadang-kadang mendengar, bahwa oleh suatu konperensi kecil sekonyong-konyong diputuskan dibentuk negara ini, dibentuk negara itu. Misalnya, dahulu sesudah peperangan dunia yang pertama, tidakkah negara Cekoslowakia sekedar dengan coretan pena dari suatu konperensi kecil. Membentuk negara…., gampang! Dulu disini pernah dibentuk negara Indonesia Timur, negara Pasundan, hanya dengan dekrit Van Mook, saudara-saudara! Tetapi mencoba membentuk masyarakat, susah!.
Membentuk masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun-tahun, berpuluh-tahun, kadang-kadang berwindu-windu, berabad-abad. Masyarakat apapun tidak gampang dibentuknya. Itu meminta pekerjaan kita terus menerus. Baik masyarakat islam, maupun masyarakat kristen maupun sosialis. Bukan bisa dibentuk dengan satu dekrit saudara-saudara, dengan satu tulisan, dengan satu unjau nafas manusia. Membentuk masyarakat makan waktu!
Yah…, aku bermohon kepada tuhan, diperbolehkanlah hendaknya ikut membentuk masyarakat pula. Masyarakat di dalam wadah itu.
Tetapi aku telah bersyukur seribu syukur kepada tuhan, jikalau nanti aku bisa menjawab kepada malaikat itu, bahwa hidupku di dunia ini antara lain-lain ialah telah ikut membentuk wadah ini saja. Membentuk wadah yang bernama negara dan wadah ini buat suatu masyarakat yang besar. Walaupun rapat ini lebih daripada satu juta manusia saudara-saudara, wadah ini bukan kok cuma buat satu juta manusia itu saja. Tidak! wadah yang bernama negara, negara yang bernama republik Indonesia itu adalah wadah untuk masyarakat Indonesia yang 80 juta, dari sabang sampai marauke! Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka ragam, beraneka adat-istiadat, beraneka suku. Bertahun-tahun aku ikut memikirkan ini. Nanti jikalau allah swt memberikan kemerdekaan kepada kita, dulu berpikiran demikianlah bapak, jikalau negara republik Indonesia telah berdiri, segenap rakyat Indonesia yang 80 juta. Negara harus didasarkan apa?
Tatkala aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini. Tatkala aku aktif didalam pergerakan, aku lebih-lebih lagi memikirkan hal ini. Tatkala dalam zaman Jepang, tetapi oleh karena tekad kita sendiri, usaha kita sendiri, pembantingan tulang sendiri, korbanan kita sendiri, tatkala fajar telah menyinsing, lebih-lebih kupikirkan lagi hal ini. Wadah ini hendaknya jangan retak. Wadah ini hendaknya utuh sekuat-sekuatnya. Wadah untuk segenap rakyat Indonesia, dari sabang sampai marauke yang beraneka agama, beraneka suku beraneka adat-istiadat.
Sekarang aku menjadi presiden republik Indonesia adalah karunia tuhan. Aku tidak menyesal, bahwa aku telah memfomulirkan pancasila. Apa sebabnya? barangkali lebih daripada siapa pun di Indonesia ini, aku mengetahui akan keanekaan bangsa Indonesia ini, aku mengetahui publik Indonesia aku berkesempatan sering-sering untuk melewat ke daerah-daerah. Sering-sering aku naik kapal udara. Malahan jikalau didalam kapal udara aku sering-sering, katakanlah, main gila dengan pilot. Pilot terbanglah tinggi, lalu akan tanya kepadanya:
“Saudara pilot, berapa tinggi ?”
“12.000 kaki paduka yang mulia”
“kurang tinggi, naikkan lagi”
“13.000 kaki”
“Hahaa…kurang tinggi bung!”
“14.000 kaki”
“kurang tinggi!”
“15.000 kaki”
“kurang tinggi”
“16.000 kaki”
“kurang tinggi”
“17.000 kaki”
“kurang tinggi”
“sudah tidak bisa lagi, paduka yang mulia. Kapal udara kita sudah mencapai plafon’.
Plafon itu ialah tempat yang setinggi-tingginya bagi kapal udara itu.
Aku terbang dari barat ke timur, dari timur ke barat. Dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Aku melihat tanah air kita. Allahu akbar, cantiknya bukan main! dan bukan saja cantik, sehingga benarlah apa yang diucapkan oleh Multatuli didalam kitab “Max Havelar”, bahwa Indonesia ini adalah demikian cantiknya, sehingga ia sebutkan “Indulinde de zich daar slingert om den evenaar als een gordel van smaragd”. Indonesia yang laksana ikat pinggang terbuat daripada zamrud berlilit-lilit sekeliling khatulistiwa! Indahnya demikian.
Ya…, memang saudara-saudara, jikalau engkau terbang 17.000 kaki diangkasa dan melihat kebawah, kelihatan betul-betul Indonesia ini adalaha sebagai ikat pinggang yang terbuat dari zamrud, melilit mengelilingi khatulistiwa, berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu pulau saudara melihat. Dan tiap-tiap pulau itu berwarna-warna. Ada yang hijau kehijauan, ada yang kuning kekuningan. Indah permai tanah air kita ini, saudara-saudara. Lebih daripada 3.000 pulau, bahkan kalau dihitung dengan yang kecil-kecil, 10.000 pulau.
*)Pidato di Surabaya, 24 September 1955

Jumat, 20 Januari 2012

Partai Nasional Indonesia (10)


Pidato Indonesia Menggugat
Oleh : Ir. Soekarno
Bung Karno Pidato Di Hadapan Massa Rakyat
Revolusioner, revolusi
Tetapi perkataan “revolusioner”! Tetapi halnya PNI menyebutkan diri suatu partai “revolusioner”! Tidakkah itu berat bahwa PNI bermaksud mengadakan pemberontakan,, atau setidak-tidaknya bermaksud melanggar kekuasaan pemerintah, mengganggu keamanan umum?
O, memang, kami sering mengatakan bahwa kami adalah kaum revolusioner, kami sering menyebut PNI itu suatu partai revolusioner! PNI memang sedari mulanya adalah suatu partai revolusoner! Kalimat di dalam surat pendakwaan, bahwa PNI adalah kemudian menjadi revolusioner, kalimat itu adalah salah sama sekali. PNI tidak kemudian menjadi revolusioner, PNI adalah revolusioner sejak hari lahirnya! Tetapi kata revolusioner dalam makna kami, sama sekali tidak berarti “mau membikin pemberontakan” atau “menjalankan sesuatu pelanggaran hukum”. Kata revolusioner di dalam makna kami adalah berarti “radikal”, “mau mengadakan perubahan dengan lekas”, “omvormend in snel tempo. Kata revolusioner di dalam makna kami haruslah diambil sebagai kebalikan kata “sabar”, kebalikan kata “sedang”. Kami, kaum PNI, kami memang bukan kaum sabar, kami memang bukan kaum sedang, kami memang bukan kaum “uler kambang”, yang selamanya kami sebut “kapuk”; kami adalah kaum “radikal”, kaum yang ingin mengadakan perubahan selekas-lekasnya, — kami adalah kaum ”Kepala Banteng”.
Ah, tuan-tuan Hakim, perkataan “revolusioner” toh tidak di dalam makna kami saja berarti “ingin perubahan dengan lekas”, yakni “omvormend in snel tempo”. Kalau orang berkata “mesin uap itu mengadakan revolusi di dalam cara produksi”, kalau orang berkata, “Prof. Einstein sudah merevolusikan segenap ilmu alam”, kalau orang menyebutkan “Yesus kristus seorang revolusioner yang terbesar di seluruh riwayat dunia”, kalau pasifis Tolstoyanis[1] Ds. B. de Light menulis buku “Christen revolutionnair”, — ya, kalau kaum Marxis, berhubung dengan hukum evolusi di dalam pergaulan hidup (sebagai variasi atas Heraclitus “panta rei”) berkata : ”kita hidup di dalam revolusi terus-terusan, yakni di dalam Revolution im Permanenz”, — adalah itu semua mengingatkan  akan pedang, akan bedil, akan bom, akan dinamit,barrikaden, darah manusia dan hawa maut?
PNI adalah “revolusioner”, oleh karena PNI ingin mengadakan perubahan yang lekas dan radikal. Prof. Bluntschli, ahli hokum kerajaan yang termashur dan yang sama sekali bukan “kaum merah”, mengatakan bahwa revolusi umumnya berarti: “umgestal-tung van Grund aus”, yakni perubahan yang radikal, perubahan yang sedalam-dalamnya. Sebagaimana tiap-tiap partai yang mau mengadakan perubahan yang radikal adalah suatu partai revolusioner, makas PNI adalah pula suatu partai yang revolusioner, PSI adalah revolusioner, ISDP adalah revolusioner, sebagai Tuan Koch mengakui sendiri, segenap perjuangan kelas dari kaum buruh adalah revolusioner.
    “Bukan bentuk-bentuk tertentu dari perjuangan kelas yang revolusioner, tetapi perjuangan kelas itu sendiri yang pada hakikatnya revolusioner, meskipun kebanyakan orang menganggap keributan dan pemogokan, itulah “yang disebut revolusioner,”
begitulah Stenhuis berkata[2]. Dengarkannlah pula bagaimana social democrat Liebknecht yang tersohor itu menerangkan perkataan “revolusioner”:
    “kita mengalami “revolusi terus-terusan”, Revolution im Permanenz. Sejarah dunia adalah satu revolusi yang terus-menerus. Sejarah dan revolusi adalah sama. Proses perubahan yang revoolusioner dalam masyarakat dan Negara tak pernah terhenti sekejap mata pun, sebab Negara dan masyarakat adalah barang-barang yang hidup,– dan akhir proses perubahan, proses pembaharuan ini, adalah maut. Kami, kaum social democrat,mengerti akan hal itu dan itulah sebabnya kami membentuk suatu partai revolusioner, yakni suatu partai yang bermaksud menghilangkan rintangan-rintangan bagi perkembangan sewajarnya dari masyarakat dan Negara!”,
dan dengarkanlah apa sebabnya Karl Marx menyebut kaumnya itu kaum revolusioner:
    “Kaum sosialis adalah revolusioner, bukan karena mereka bertingkah laku keras, tapi karena anggapan mereka tentang tumbuhnya cara produksi, yakni: di dalam pertumbuhan itu harus ditimbulkan pengertian-pengertian dan bentuk-bentuk baru tentang milik dan produksi. Sebaiknya dari anggapan orang sekarang, mereka itu revolusioner karena cita-cita dan usahanya menyusun dan membikin matang untuk itu, kelas yang harus akan melaksanakan system baru itu”.[3]
    Sesungguhnya, jika sekalilah perkataan Karl Kautsky: “Sosial-demokrasi adalah suatu partai yang revolusioner, tapi bukan suatu partai yang bikin revolusi-revolusi!”[4]
Tidakkah ternyata sekarang kebenaran perkataan kami, bahwa SDAP adalah revolusioner, bahwa ISDP adalah revolusioner, bahwa Albarda cs. Adalah revolusioner, bahwa Stokvis, bahwa de Dreu, bahwa Middendorp adalah revolusioner? Tidakkah PNI revolusioner juga, tidakkah kami kaum revolusioner juga, — PNI dan kami, yang juga bermaksud “menghilangkan rintangan-rintangan bagi perkembangan sewajarnya dari masyarakat dan Negara”, juga bermaksud “menyusun dan membikin matang rakyat untuk itu”? Oleh karena itu, sekali lagi, memang PNI adalah revolusioner, kami adalah kaum revolusioner,– tetapi tidak karena apa-apa, melainkan hanya karena PNI ingin perubahan yang lekas dan radikal, ingin “omvorming in snel tempo”, ingin “Umgestaltung von Grund aus” itu. PNI dan kami adalah revolusioner, tidak karena PNI dan kami mau golok-golokan atau bom-boman atau dinamit-dinamitan, tidka karena PNI (dengan perkataan Kautsky) adalah “suatu partai yang bikin revolusi-revolusi”,— tetapi hanya karena PNI ingin menghilangkan segala hal yang merintangi dan memundurkan suburnya pergaulan hidup Indonesia dan mengorganisir rakyat untuk menghilangkan rintangan-rintangan itu.

[1] Pasifis Tolstoyanis= orang yang cinta damai, seperti tercermin dari roman Tolstoy “War and Peace”
[2] Stenhuis dalam pidato 3 Oktober 1928 di hadapan Development Assocation di Amsterdam (lihat AID de Preangerbode 4-8-1930)
[3] Fenderik Peter Godfriend Quack dalam “De Socialisten” Jilid V, hal. 327.
[4] Karl Kautsky dalam “Der WEg zur Macht” hal. 57.

Kamis, 19 Januari 2012

Masih ada orang yang JUJUR di negeri ini!!!!


Guru India Terkejut Saldo Tabungannya Menjadi 91 Trilliun

Guru India Terkejut Saldo Tabungannya Menjadi 91 Trilliun
Kolkata (AFP/ANTARA) - Seorang guru SMU di India, dengan penghasilan bulanan sebesar 700 dolar Amerika (setara dengan Rp6,4 juta), terkejut saat memeriksa saldo tabungannya secara online dan menemukan saldo tabungannya berubah menjadi hampir 10 milliar dollar (setara dengan Rp91 trilliun)

Parijat Saha, yang berasal dari kota Balurghat, West Bengal, mengatakan bahwa ia melihat akun tabungannya di Bank Negara India secara online pada hari Minggu lalu untuk mengonfirmasi struk pembayaran bunga sebesar 200 dolar Amerika (setara dengan Rp1,8 juta)

"Kemudian aku melihat jumlah uang yang sangat besar tersebut," ujarnya pada AFP via telepon.

Akun tersebut menunjukkan saldo 496 milliar rupee (setara dengan Rp91 trilliun)

Setelah kembali sadar dari keterkejutannya menjadi milyuner dalam semalam, Saha (42) mengatakan bahwa dia langsung menghubungi temannya yang bekerja di bank untuk memberitahu kesalahan perhitungan yang sangat besar tersebut.

Bank Negara India mengatakan bahwa mereka tidak tahu persis bagaimana uang dalam jumlah tersebut bisa masuk ke dalam akun Saha.

Kami sedang menyelidiki apa penyebabnya," ujar Subhashish Karmakar, manajer bank cabang setempat.

"Kami telah memberi tahu kantor pusat regional kami di Kolkata dan kantor pusat nasional di Mumbai," ujarnya.