Jumat, 20 Januari 2012

Partai Nasional Indonesia (10)


Pidato Indonesia Menggugat
Oleh : Ir. Soekarno
Bung Karno Pidato Di Hadapan Massa Rakyat
Revolusioner, revolusi
Tetapi perkataan “revolusioner”! Tetapi halnya PNI menyebutkan diri suatu partai “revolusioner”! Tidakkah itu berat bahwa PNI bermaksud mengadakan pemberontakan,, atau setidak-tidaknya bermaksud melanggar kekuasaan pemerintah, mengganggu keamanan umum?
O, memang, kami sering mengatakan bahwa kami adalah kaum revolusioner, kami sering menyebut PNI itu suatu partai revolusioner! PNI memang sedari mulanya adalah suatu partai revolusoner! Kalimat di dalam surat pendakwaan, bahwa PNI adalah kemudian menjadi revolusioner, kalimat itu adalah salah sama sekali. PNI tidak kemudian menjadi revolusioner, PNI adalah revolusioner sejak hari lahirnya! Tetapi kata revolusioner dalam makna kami, sama sekali tidak berarti “mau membikin pemberontakan” atau “menjalankan sesuatu pelanggaran hukum”. Kata revolusioner di dalam makna kami adalah berarti “radikal”, “mau mengadakan perubahan dengan lekas”, “omvormend in snel tempo. Kata revolusioner di dalam makna kami haruslah diambil sebagai kebalikan kata “sabar”, kebalikan kata “sedang”. Kami, kaum PNI, kami memang bukan kaum sabar, kami memang bukan kaum sedang, kami memang bukan kaum “uler kambang”, yang selamanya kami sebut “kapuk”; kami adalah kaum “radikal”, kaum yang ingin mengadakan perubahan selekas-lekasnya, — kami adalah kaum ”Kepala Banteng”.
Ah, tuan-tuan Hakim, perkataan “revolusioner” toh tidak di dalam makna kami saja berarti “ingin perubahan dengan lekas”, yakni “omvormend in snel tempo”. Kalau orang berkata “mesin uap itu mengadakan revolusi di dalam cara produksi”, kalau orang berkata, “Prof. Einstein sudah merevolusikan segenap ilmu alam”, kalau orang menyebutkan “Yesus kristus seorang revolusioner yang terbesar di seluruh riwayat dunia”, kalau pasifis Tolstoyanis[1] Ds. B. de Light menulis buku “Christen revolutionnair”, — ya, kalau kaum Marxis, berhubung dengan hukum evolusi di dalam pergaulan hidup (sebagai variasi atas Heraclitus “panta rei”) berkata : ”kita hidup di dalam revolusi terus-terusan, yakni di dalam Revolution im Permanenz”, — adalah itu semua mengingatkan  akan pedang, akan bedil, akan bom, akan dinamit,barrikaden, darah manusia dan hawa maut?
PNI adalah “revolusioner”, oleh karena PNI ingin mengadakan perubahan yang lekas dan radikal. Prof. Bluntschli, ahli hokum kerajaan yang termashur dan yang sama sekali bukan “kaum merah”, mengatakan bahwa revolusi umumnya berarti: “umgestal-tung van Grund aus”, yakni perubahan yang radikal, perubahan yang sedalam-dalamnya. Sebagaimana tiap-tiap partai yang mau mengadakan perubahan yang radikal adalah suatu partai revolusioner, makas PNI adalah pula suatu partai yang revolusioner, PSI adalah revolusioner, ISDP adalah revolusioner, sebagai Tuan Koch mengakui sendiri, segenap perjuangan kelas dari kaum buruh adalah revolusioner.
    “Bukan bentuk-bentuk tertentu dari perjuangan kelas yang revolusioner, tetapi perjuangan kelas itu sendiri yang pada hakikatnya revolusioner, meskipun kebanyakan orang menganggap keributan dan pemogokan, itulah “yang disebut revolusioner,”
begitulah Stenhuis berkata[2]. Dengarkannlah pula bagaimana social democrat Liebknecht yang tersohor itu menerangkan perkataan “revolusioner”:
    “kita mengalami “revolusi terus-terusan”, Revolution im Permanenz. Sejarah dunia adalah satu revolusi yang terus-menerus. Sejarah dan revolusi adalah sama. Proses perubahan yang revoolusioner dalam masyarakat dan Negara tak pernah terhenti sekejap mata pun, sebab Negara dan masyarakat adalah barang-barang yang hidup,– dan akhir proses perubahan, proses pembaharuan ini, adalah maut. Kami, kaum social democrat,mengerti akan hal itu dan itulah sebabnya kami membentuk suatu partai revolusioner, yakni suatu partai yang bermaksud menghilangkan rintangan-rintangan bagi perkembangan sewajarnya dari masyarakat dan Negara!”,
dan dengarkanlah apa sebabnya Karl Marx menyebut kaumnya itu kaum revolusioner:
    “Kaum sosialis adalah revolusioner, bukan karena mereka bertingkah laku keras, tapi karena anggapan mereka tentang tumbuhnya cara produksi, yakni: di dalam pertumbuhan itu harus ditimbulkan pengertian-pengertian dan bentuk-bentuk baru tentang milik dan produksi. Sebaiknya dari anggapan orang sekarang, mereka itu revolusioner karena cita-cita dan usahanya menyusun dan membikin matang untuk itu, kelas yang harus akan melaksanakan system baru itu”.[3]
    Sesungguhnya, jika sekalilah perkataan Karl Kautsky: “Sosial-demokrasi adalah suatu partai yang revolusioner, tapi bukan suatu partai yang bikin revolusi-revolusi!”[4]
Tidakkah ternyata sekarang kebenaran perkataan kami, bahwa SDAP adalah revolusioner, bahwa ISDP adalah revolusioner, bahwa Albarda cs. Adalah revolusioner, bahwa Stokvis, bahwa de Dreu, bahwa Middendorp adalah revolusioner? Tidakkah PNI revolusioner juga, tidakkah kami kaum revolusioner juga, — PNI dan kami, yang juga bermaksud “menghilangkan rintangan-rintangan bagi perkembangan sewajarnya dari masyarakat dan Negara”, juga bermaksud “menyusun dan membikin matang rakyat untuk itu”? Oleh karena itu, sekali lagi, memang PNI adalah revolusioner, kami adalah kaum revolusioner,– tetapi tidak karena apa-apa, melainkan hanya karena PNI ingin perubahan yang lekas dan radikal, ingin “omvorming in snel tempo”, ingin “Umgestaltung von Grund aus” itu. PNI dan kami adalah revolusioner, tidak karena PNI dan kami mau golok-golokan atau bom-boman atau dinamit-dinamitan, tidka karena PNI (dengan perkataan Kautsky) adalah “suatu partai yang bikin revolusi-revolusi”,— tetapi hanya karena PNI ingin menghilangkan segala hal yang merintangi dan memundurkan suburnya pergaulan hidup Indonesia dan mengorganisir rakyat untuk menghilangkan rintangan-rintangan itu.

[1] Pasifis Tolstoyanis= orang yang cinta damai, seperti tercermin dari roman Tolstoy “War and Peace”
[2] Stenhuis dalam pidato 3 Oktober 1928 di hadapan Development Assocation di Amsterdam (lihat AID de Preangerbode 4-8-1930)
[3] Fenderik Peter Godfriend Quack dalam “De Socialisten” Jilid V, hal. 327.
[4] Karl Kautsky dalam “Der WEg zur Macht” hal. 57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar