Senin, 09 Januari 2012

Partai Nasional Indonesia (8)


Pidato Indonesia Menggugat
Oleh : Ir. Soekarno
Soekarno dan rakyat
Tiap partai Kemerdekaan mau berontak?
“Mencapai kekuasaan politik! Mendatangkan Indonesia merdeka! Ya, benar, mendatangkan Indonesia merdeka! Jadi PNI mau berontak, kalau kemerdekaan itu tidak diberikan! –begitulah orang bisa berkata.
Amboi, aneh benar “logika” yang demikian ini! Kalau memang benar “logika” yang demikian itu, orang lantas boleh me-“logika”-kan pula: jadi, PSI yang bercita-cita pemerintahan Islam itu, juga mau berontak! Atau orang boleh me-“logika”-kan pula: jadi, Budi Utomo, jadi, Pasundan, jadi kaum Betawi, jadi Sarekat Madura, jadi semua anggota PPPKI yang juga mau mendatangkan kemerdekaan itu, juga mau membikin huru-hara! Ya, orang boleh me-“logika”-kan pula: jadi SDAP, jadi ISDP, jadi Albarda c.s. dan Stokvis c.s. yang bersemboyan “mencapai kekuasan politik!, nyah dengan kapitalisme!” itu, juga mau mengamuk dengan bom dan dinamit! :
Amboi, kocak benar kalau begitu: Orang tua Stokvis mengamuk dengan bom dan dinamit! Padaha, — bagaimanakah aksi ISDP? Bagaimanakah aksi SDAP? Bagimanakah  Stokvis c.s. dan Albarda c.s. itu mau mencapai kekuasaan politik itu?
“Bagaimanakah jalannya mengambil kekuasaan politik?” begitulah kami itu menjawab di dalam buku kecil mereka tentang asas dan tujuan SDAP:
    “Kami sedang melakukan yang demikan itu pada tiap-tiap keping organisasi, yang kami dirikan dan luaskan. Kami bekerja untuk itu pada tiap pemilihan, pada tiap perjuangan untuk hak memilih, pada tiap aksi besar terhadap kaum borjuis. Ini bukan pemberontakan satu hari, tapi adalah pekerjaan perlawanan kami bertahun-tahun…..alat-alat yang kelihatan, yang dipergunakan oleh proletariat dalam perjuangannya, disesuaikan dengan syarat-syarat dan kemungkinan-kemungkinan perjuangan itu dan dengan senjata-senjata yang diberikan oleh masyarakat kapitalis itu sendiri kepada kami. Sebab itulah terutama kami pergunakan parlemen, sebab itulah pula gerakan sekerja memakai senjata mogok – di negeri Belanda adalah hak mogok, Tuan-tuan Hakim – yang bisa dipergunakannya oleh karena tenaga buruh tidak bisa ditiadakan dalam proses produksi. Tapi senjata itu pula yang dipergunakan oleh proletariat juga untuk tuntutan-tuntutan politik umum dan tuntutan-tuntutan kelas, apabila dianggapnya bisa mendatangkan manfaat….kekerasan menurut pengalaman kami, ternyata adalah suatu senjata yang jelek, boleh bilang tidak perlu kalau kekuasaan ada pada kita, merugikan selama kita tidak mempunyai kekuasaan….Tapi aksi apa pun yang hendak kita lakukan, — senjata apa pun hendak kita pakai, — dasar yang tidak bisa ditiadakan dari segala, ialah: adanya suatu organisasi yang tahan lama, kuat susunanya dan tumbuh terus, suatu organisasi yang mempunyai hak susila dan kekuasaan, untuk memegang pimpinan kelas kaum buruh dalam perjuangan kelas-kelas”.[1]
Sesungguhnya, kocak betullah “logika” yang me-“logika”-kan, bahwa karena itu, PNI akan membikin huru-hara. Tetapi, juga dengan tidak menertawakan “logika” yang kocak itu, maka tiap-tiap orang yang mau mengakui bahwa sedikitnya otak kami toh masih belum terganggu, tiap-tiap orang yang tidak memandang kami orang yang gila atau orang idioot, tentulah mengerti, bahwa kami mustahillah tak mengetahui bahwa kemerdakaan itu hanya bisa tercapai dengan suatu usaha susunan dan usaha kekuasaan yang maha sukar dan mahaberat adanya, dan bahwa mustahillah pula kami misalnya bisa berkata, bahwa kemerdekaan itu akan datang dalam tahun ‘30! Sebagaimana kekuasaan politik tidak bisa dicapai oleh kaum buruh Eropa di dalam satu, dua, tiga, sepuluh, dua puluh tahun, maka kemerdekaan pun tak bisa diperoleh rakyat Indonesia dalam satu helaan nafas saja![2]
    Ai, ai, “kemerdekaan akan datang dalam tahun ’30!”
Kami dikatakan pernah bilang, bahwa kemerdekaan akan datang dalam tahun ’30! Sesungguhnya, kalau memang benar begitu, perlu sekalilah kami dengan segera dikirimkan ke rumah sakit gila Ciikeumeuh, bagian “pasien-pasien yang tidak sembuh lagi”, bersama-sama dengan saudara Mr. Sartono, yang juga dikatakan pernah berpidato kemerdekaan akan datang tahun ini.
Dalam Bintang Timur, edisi bahasa Belanda, 4 januari yang lain kami baca:
    “Atas pertanyaan Mr. Sartono apakah bukti-bukti pendakwaan, polisi menjawab, bahwa pemerintah mendapat kabar  dari seluruh Indonesia, bahwa PNI mau mengadakan revolusi dan juga bahwa – ini pun berita-berita dari mata-mata juga –  Mr. Sartono di dalam suatu rapat terbuka (???) mengatakan, bahwa tahun 1930 negeri ini akan mendapat- kembali kemerdekaannya….Mr. Sartono lantas menjawab dengan tepatnya, bahwa pucuk Pimpinan tidak pernah merancang maksud seperti itu. Sebab jika benar demikian, tentulah Pucuk Pimpinan mengeluarkan suatu keputusan beserta petunjuk-petunjuk! Dan lagi pula, jika sekiranya sungguh-sungguh mereka itu mempunyai maksud jahat itu, tentulah mereka semuanya menyimpan senjata-senjata atau sekurang-kurangnya golok di dalam rumah, sedangkan sekarang, tatkala dilakukan penggeledahan besar-besaran tidak didapati satu pisaupun atau senjata lain pada pemimpin-pemimpinnya. Dia ingat, bahwa di dalam suatu rapat umum dia pernah menerangkan bahwa dalam tahun 1930 saudara-saudara kita bangsa Tionghoa disamakan haknya dengan bangsa Eropa. Berhubung dengan itu ia berkata, bahwa konsekuensi penyamaan hak itu, orang Indonesia juga berhak mendapat hak-hak yang timbul dari undang-undang penyamaan hak itu. Dia selalu menerangkan, bahwa dia ingin sekali Indonesia merdeka. Dalam hampir saban rapat umum dia menerangkan yang demikian itu dengan tidak ada pembatasan. Tapi dia tidak pernah mengatakan, bahwa Indonesia mulai 1 Januari 1930 akan merdeka, dan bahwa menjelang waktu itu, di sini kan meletus revolusi. Jikalau dia pernah berkata begitu, dia merasa heran mengapa dia tidak ditangkap waktu itu juga.
Benar sekali! Kami tak pernah tedeng aling-aling, bahwa kami mengejar kemerdekaan. Kami tak pernah tedeng aling-aling, bahwa PNI punya idam-idaman ialah Indonesia merdeka! Tetapi kami tidak begitu tolol untuk mengira atau mengatakan bahwa kemerdekaan itu dalam satu helaan nafas saja akan datang!
O, memang, kalau umpamanya kemerdekaan itu bisa jatuh dari langit ini hari, kalau umpamanya bisa datang seorang malaikat manis menghadiahkan kemerdekaan itu ini hari, maka kami, dari Partai Nasional Indonesia, kami tidak akan menolaknya, tetapi sebaliknya akan bersukaria. Kami di dalam hal itu akan mengucap syukur dan alhamdulillah, oleh karena sepanjang keyakinan kami kemerdekaan adalah kunci pintu gerbang surga kebesaran kami. Kami memandang kemerdekaan ini hari itu sebagai suatu cita-cita yang seindah-indahnya, dan oleh karena itu, tidak adalah bagi kami kemerdekaan yang datangnya terlalu pagi.
Kami tidak mau bersikap sebagai kaum setengah sosialis, yang sudah lebih dulu – apriori- menyembunyi-nyembunyikan asasnya sendiri dengan menolak tuntutan merdeka ini hari. Menolak cita-cita merdeka ini hari. Tetapi,…..kemerdekaan tidak akan datang ini hari atau besok pagi! Kemerdekaan hanyalah hasil suatu usaha susunan dan usaha persatuan yang sesuatu rakyat harus kerjakan tak berhenti-hentinya dengan habis-habisan mengeluarkan keringat , membanting tulang, memeras tenaga. Kemerdekaan, menurut perbandingan pemimpin India Surendra nath Banneryee, adalah:
    “laksana dewi yang cemburu, yang minta dipuja-puja dengan teliti sekali dan menuntut dari pemuja-pemujanya pembaktian yang rajin dan tiada hentinya.”
Kemerdekaan, begitulah kami sering-sering terangkan di dalam rapat-rapat umum, kemerdekaan tidaklah bagi kami. Kemerdekaan adalah buat anak-anak kami, buat cucu-cucu kami, buat buyut-buyut kami yang hidup di kelak kemudian hari!
Tidak! Untuk mencapai kemerdekaan itu, PNI tidak bermaksud pedang-pedangan atau golok-golokan atau bom-boman, tidak pula bermaksud menyindir atau memujikan pengrusakan keamanan umum atau pelanggaran kekuasaan pemerintah atau menjalankan hal-hal lain sebagai yang dituduhkan kepada kami dalam proses ini, tetapi PNI mengerjakan pembentukan kekuasaan yang halal itu, mengerjakan pembentukan kekuasaan itu menurut contoh organisasi modern, dan sebagaimana kaum buruh di Eropa yang juga memandang kekuasaan politik dan lenyapnya kapitalisme sebagai kunci satu-satunya bagi kebahagiaan yang sejati itu, dalam sementara menumpuk-numpuk pembentukan kekuasaan itu sudah mencoba-coba meringankan nasibnya dengan pelbagai aturan dan kemenangan-kemenangan yang bisa tercapai ini hari; sebagaimana kaum uurh Eropa itu dalam sementara mengejar maksud yang tertinggi itu, tak emoh akan keuntungan-keuntungan yang langsung, maka PNI pun dalam sementara mengejar kemerdekaan itu, sudah pula berjuang secara halal bagi keuntungan-keuntungan ini hari yang demikian itu juga adanya. PNI pun dalam sementara mengejar Indonesia merdeka itu, sudah pula berusaha di atas lapangan ekonomi, sosial dan politik sehari-hari, ya malahan memandang keuntungan-keuntungan ini hari itu sebagai syarat-syarat pula bagi kemerdekaan itu.
Ia mencoba mendirikan sekolah-sekolah, membangunkan rumah-rumah sakit, melawan riba, menyokong bank-bank nasional, membuka koperasi-koperasi, memajukan serikat-serikat sekerja dan perserikatan-perserikatan tani. Ia mencobba menghilangkan pasal-pasal pencegah penyebaran kebencian (haatzaai-artikelen) beserta pasal-pasal 153 bis-ter dan pasal 161 bis dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, menghilangkan hak-hak exorbitante[3] dari gubernur jenderal. Ia mencoba jadi penyokong rakyat yang sengsara itu di dalam kebutuhannya sehari-hari. Dan jika PNI pada saat ini belum banyak hasil di atas lapangan itu; jika PNI belum banyak sekolah-sekolahnya, belum banyak poliklinik-polikliniknya, belum banyak koperasi-koperasinya; jika PNI belum dapat menghapuskan ranjau-ranjau politik yang kami sebutkan tadi, maka itu adalah oleh karena PNI baru berumur dua tiga tahun saja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar