Senin, 13 Februari 2012

Partai Nasional Indonesia (19)


Pidato Indonesia Menggugat
Oleh : Ir. Soekarno
Bung karno Pidato di depan Rakyat
Marhaenisme
Menyuruh memeluk kromoisme? Tuan-tuan Hakim, menyuruh memeluk kromoisme, sebagaimana susunan pergaulan hidup Eropa menyuruh kaum sosialis memeluk proletarisme pula! Sebab susunan pergaulan hidup Indonesia sekarang adalah pergaulan merk Kromo, pergaulan hidup merk  marhaen,- pergaulan hidup yang sebagian besar sekali adalah terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, pendek kata: ……kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil! Suatu golongan borjuis nasional[1] yang kuasa sebagai di India, suatu golongan borjuis yang tenaganya bisa dipakai di dalam perjuangan melawan imperialisme itu dengan; politik “selfcontaining”[2]di sini boleh dikatakan tidak ada. Banyak kaum  nasionalis bangsa Indonesia, yang mengatakan, bahwa pergerakan Indonesia harus meniru pergerakan India dengan mengadakan pula boikot ekonomi atau swadeshi sebagai  di India itu. Kami menjawab: kalau bisa memang bagus, tetapi pergerakan Indonesia tidak bisa meniru pergerakan India, tidak bisa ikut-ikut mengadakan swadeshi, tidak bisa memakai tenaga suatu golongan borjuis nasional, oleh karena di Indonesia tidak ada golongan borjuis nasional yang kuasa itu. Pergerakan Indonesia haruslah suatu pergerakan yang mencari tenaganya di dalam kalangan Kang Kromo dan Kang Marhaen saja, oleh karena Indonesia hampir melulu mempunyai  kaum kromo dan kaum Marhaen belaka! Di dalam tangan kaum Kromo dan kaum Marhaen itulah terutama letaknya nasib Indonesia, di dalam organisasi kaum kromo dan kaum Marhaen itulah terutama letaknya nasib Indonesia, di dalam organisasi kaum kromo dan kaum Marhaen itu terutama harus dicari tenaganya. Siapa dari kaum pergerakan Indonesia menjauhi atau tak mau bersatu dengan saudara-saudara “rakyat rendah” yang sengsara dan berkeluh kesah itu, siapa yang menjalankan politik “salon-salonan” atau “menak-menakan”, siapa yang tidak memperusahakan marhaenisme atau kromoisme, – walaupun ia seribu kali sehari berteriak cinta bangsa cinta rakyat, ia hanyalah menjalankan politik yang………Cuma”politik-politikan” belaka!
Kekromoan dan kemarhaenan!, – itulah kini gambar susunan pergaulan hidup kami. Sebab sistem imperialisme di Indonesia adalah dari sejak semulanya, dari zaman Kompeni  sampai ke zaman Cultuurstelsel, dari zaman  Cultuurstelsel, sampai ke zaman modern, merebut dan membasmi tiap-tiap perusahaan besar daripada rakyat kami dengan sulur-sulurnya dan akar-akarnya, mengalang-ngalangi dan membikin tidak bisa lebih hidup suatu perusahaan kerajinan atau industri atau ondernemingIndonesia apa pun juga. Perdagangan, pelayaran, pertukangan, – semua matilah oleh pengaruh imperialisme-tua dan imperialisme modern yang kedua-keduanya monopolistis itu!
Kini tinggallah perdagangan kecil belaka, pelayaran kecil belaka, pertukangan kecil belaka, pertania kecil belaka, ketambahan lagi milyunan kaum buruh yang sama sekali tiada perusahaan sendiri,-kini pergaulan hidup Indonesia itu hanyalah pergaulan hidup kekromoan dan kemarhaenan saja!
Tuan-tuan Hakim, sempitnya tempo mengalang-alangi kami menguraikan dan membuktikan keadaan yang penting ini lebih luas, tetapi satu dua dalil dari bangsa Eropa yang terpelajar, tak bisa kami tinggalkan, misalnya dari Raffles, Prof. Veth, Prof. Kielstra, Prof. Gonggripj, Prof. V. Gelderen, ataupun Schmalhausen, Rouffaer, dan lain-lain yang semuanya adalah membuktikan kebenaran kata kami itu!
Di dalam buku Raffles yang termashur tentang tanah Jawa, kami membaca tentang imperialisme-tua:
    “Begitu sukarnya menggambarkan dengan panjang lebar, luasnya perdagangan di tanah Jawa pada saat orang Belanda mulai berdiam di laut-lau Timur, begitu pula menyedihkan hati membuktikan dengan cara bagaimana perdagangan itu oleh perbuatan bangsa  asing dialang-alangi, diubah sama sekali dikecil-kecilkan, oleh kekuasaan monopoli yang bobrok, oleh ketamakan dan keserakahan akan duit dibarengi kekuasaan, dan oleh kelaliman yang picik dari suatu pemerintah saudagar”…..
    “Demikianlah pasal-pasal yang terpenting dari tiga puluh satu pasal mengenai pembatasan, yang membelenggu tiap gerak perdagangan dan memadamkan bara yang penghabisan dari semangat berusaha, untuk memuaskan pemandangan-pemandangan picik angkara murka, yang bisa disebut kefanatikan akan keserakahan kepada harta.[3]
Tuan-tuan Hakim, Raffles adalah terkenal sebagai pembenci bangsa Belanda! Karena itu, marilah kita menyelidiki pendapat pujangga-pujangga Belanda sendiri dan kita akan mendengar pendapat yang tidak berbeda. Tidakkah Prof. Veth tentang imperialisme-tua itu mengatakan, bahwa bangsa kami,
    “dalam abad ke-16, seperti juga di zaman Majapahit, terutama terkenal sebagai kaum saudagar yang besar usaha, kaum pelaut yang gagah, kaum perantau yang  berani, dan bahwa mereka umumnya……telah harus mengalami perubahan yang besar untuk menjadi petani-petani yang diam dan damai seperti sekarang ini”, dan bahwa:
    “nyata” sekali, bahwa semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai kutu-kutunya dan bahwa (mereka) tak luput dari bekerjanya obat tidur penjajahan yang lama di bawah bangsa asing yang lebih kuat”![4]
Tidakkah Prof. Kielstra menulis:
    “Politik perdagangan bangsa Belanda menyebabkan banyak sumber-sumber penghidupan menjadi tertutup atau kering sama sekali; tapi perduli apa! Tidakkah orang…..mengajarkan, bahwa orang tak boleh menyimpang dari pendirian, bahwa rakyat yang miskin paling gampang bisa diperintahi!”[5]
Dan haraplah perhatikan perkataan Prof. Gonggrijp yang berbunyi:
    “Usaha yang hebat untuk mengekalkan monopoli itu sudah membinasakan kesejahteraan pulau-pulau Maluku dan menindas semangat dagang dan nafsu berusaha yang (masih) ada sedikit pada penduduk bumiputra”![6]
Haraplah memperhatikan pula pendapat Prof. Van Gelderen yang menulis di dalam buku pidato-pidatonya:
    “Dengan adanya perpustakaan yang luas, kini tak bisa disangkal lagi, sudah ada permulaan perdagangan yang aktif dan teratur, lalu lintas tukar-menukar dengan seberang lautang dengan alat-alat yang ada waktu itu…..oleh adanya sistemcontingenten dan leverantien![7] Kemudian oleh adanya sistem tanaman paksaan, maka produsen Bumiputra didesak dari pasar dunia dan dialang-alangilah tumbuh suburnya suatu kelas majikan dan kelas saudagar bangsa sendiri”![8]
    Orang bisa membantah, “O, itu keadaan tempo dulu, keadaan sekarang sudah lain!”
O, memang,-itu keadaan tempo dulu, itu jahatnya imperialisme-tua! Tetapi keadaan sekarang, di bawah imperialisme modern, tidak lain halnya! Keadaan sekarang masih tetap mengalang-alangi timbulnya suatu kaum perusahaan besar di Indonesia, tetap “mengkromokan”, tetap, memarhaenkan” di dalam tendensnya, – walau, dengan meminjam lagi perkataan Stokvis, “melalui jalan-jalan yang lebih sunyi”, “langs stillere wegen”. Keadaan sekarang tetap menunjukkan suatu pergaulan hidup tani kecil, pedagang kecil, pelayar kecil, segalanya kecil, beserta berjuta-juta kaum yang tak mempunyai suatu milik atau perusahaan sendiri yang bagaimana kecilnya pun, proletar, yang (terbawa oleh tendens imperialisme-modern yang menurut Prof. Van Gelderen membikin kami menjadi “rakyat kaum buruh”, dan “si buruh antara bangsa—bangsa”), makin lama makin bertambah.
Dalil- dalil? Haraplah memperhatikan perkataan bekas Asisten Residen Schmalhausen, yang atas laporan Du Bus yang berbunyi:
    “Hal yang sama, dan malahan lebih-lebih lagi, terjadi dengan barang tenunan. Jawa di zaman dulu mengambil kain-kain yang agak halus dari pesisir, tapi yang untuk keperluan sehari-hari dibikinnya sendiri untuk kebutuhan tanah Jawa dan buat sebagian besar juga untuk Kepulauan Hindia. Berkapal-kapal kain-kain itu meninggalkan tanah Jawa dan disebarkan ke pulau-pulau sekitarnya. Sekarang kita memasukkan di tanah Jawa dan kepulauan Hindia kita punya kain-kain Belanda…..Di dalam pertentangan ini perusahaan Bumiputra menjadi mundur dan pabrik-pabrik kita di negeri Belanda ada harapan akan bisa menggantikannya sama sekali dalam waktu yang pendek”.
Menulis komentar buat zaman sekarang yang mengatakan:
    “sedangkan Du Bus menyebutkan di antara sebab-sebab maka keadaan jelek, ialah hilangnya beberapa banyak barang-barang ekspor yang lain, di samping tertahan-tahannya  pengeluaran beras, maka kita di zaman ini bisa pula mengatakan, bahwa banyak industri-industri Bumiputra binasa atau merana hidupnya![9]
Dan adakah beda tulisan G.P. Rouffaer yang berbunyi:
    “Dalam keadaan demikian itu, maka tidak boleh tidak perusahaan kain Bumiputra…makin lama makin tertindas oleh banyaknya impor dari luar negeri.”[10]
Tidak, tidak ada bedanya. Dan tidak bedalah pula nasib perusahaan-perusahaan Indonesia yang lain. Di manakah sekarang kami punya pelayaran? Dimanakah kami punya perusahaan besi dan kuningan, kami punya kaum pedagang? Sesungguhnya, benarlah tulisan Prof. Van Gelderen yang berbunyi:
    “………suburnya industri-industri modern ini, sudah mendesak usaha-usaha industri rumahan yang agak maju. Perdagangan ekspor Bumiputra binasa dan industri setempat-setempat hilang tersapu oleh gelombang barang-barang impor yang murah, hasil bikinan terbanyak-banyak”. [11] “….Begitulah maka, juga di dalam zaman tanaman merdeka, yang datang sesudah zaman cultuurstelsel, berlaku terus perpisahan antara si tani Jawa, – dan dengan ini sebenarnya segenap penduduk Bumiputra,- dan pasar dunia zaman sekarang. [12]
Tuan-tuan hakim, dengan pergaulan hidup yang demikian ini, dengan pergaulan hidup yang tiada kelas perusahaan besar ini, dengan pergaulan hidup yang hampir penuh dengan kaum kromo dan kaum marhaen saja ini, kami dari Partai Nasional Indonesia, yang selamanya berdiri diatas realiteit itu,  kami harus menjalankan politik yang Kromoistis dan Marhaenistis pula. Tidak bisalah kami mencoba mengalahkan imperialisme itu dengan mendesaknya ke luar dengan kekuatan persaingan ekonomi, tidak bisalah kami mencoba melemahkan dayanya dengan daya “selfcontaining” yang  nasional-ekonomis sebagai di India itu. Kami hanya bisa mengalahkannya dengan aksi Kang Kromo dan Kang Marhaen, dengan massa-aksi kebangsaan yang sebesar-besarnya. Kami mencoba menyusun-nyusun energi massa yang berjuta-juta itu, mencoba membelokkan energi segenap kaum intelektual Indonesia ke arah susunan massa ini; kami mencoba, -dan kami yakin akan bisa-, kami mencoba memberi keinsafan pada kaum intelektua Indonesia itu, bahwa di dalam kalangan massa inilah mereka harus terjun dan berjuang, di dalam kalangan massa inilah mereka harus mencari kekuasaan bangsa, – jangan lebih dulu hanya menjalankan politik “salon-salonan” saja, menggerutu sendiri-sendiri atau marah-marah di dalam kalangan sendiri saja.
Tidak! “Di dalam massa, dengan massa, untuk massa!”,- itulah harus menjadi semboyan kami dan semboyan tiap-tiap orang Indonesia yang mau berjuang untuk keselamatan tanah air dan bangsa!


[1] Golongan borjuis nasional=kaum modal bangsa sendiri.
[2] Politik selfcontaining, ialah politik membikin sendiri kebutuhan rakyat, jadi tidak membeli barang bikinan kaum imperialis, melainkan segala kebutuhan itu dibikin oleh perusahaan bangsa sendiri.
[3] Sir Thomas. S. Raffles, dalam buku “Geschiedenis van Java” terjemahan van de Sturier 1836, hal. 116, 140.
[4] Veth dalam “Java” I hal. 299.
[5] E.B. Kielstra dalam “De vestiging…..” hal.19.
[6] George Gonggrijp dalam “Schets ener economische gescftiedenis” hal.122
[7] Lihatlah buat maknanya, catatan kaki no. 36, 37.
[8] Prof, van Gelderen, dalam “Voorlezingen…”hal.122.
[9] Schmalhausen, dalam buku “Over Java” hal. 139.
[10] Gerret Piete Rouffaer, dalam buku “De Voornaamste Industrieen” hal. 2
[11] Dr. Schrieke dalam “Western Influence etc” hal.99.
[12] Van Gelderen “Voorlezingen” hal. 123.

1 komentar:

  1. nice info gan salam kenal,,ijin promo gan

    Info terbaru winenlose Agen Bola Promo 100% SBOBET IBCBET Casino Poker Tangkas Online merupakan Agen Judi Online Dan Poker Online untuk taruhan Bola serta Poker, terpercaya dan aman

    BalasHapus